Sabtu, 03 Desember 2011

Pengaruh Implementasi Kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat Terhadap Efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal”.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang Penelitian


Memberdayakan ekonomi rakyat sesungguhnya merupakan kewajiban mutlak dari suatu negara. Bagi bangsa Indonesia yang berazaskan Pancasila, menggerakkan ekonomi adalah untuk mencapai tujuan kemakmuran bersama yang dinyatakan dalam Sila ke Lima dari Pancasila yaitu, “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sejalan pesan konstitusional tersebut  maka dalam era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua sekarang ini, prioritas pembangunan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. selain itu Memajukan Kesejahteraan umum merupakan tanggung jawab pemerintah seperti yang telah tertera dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat : “. . . Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . . . ”
Sejak era orde lama, orde baru, sampai sekarang Memajukan Kesejahteraan umum merupaka agenda utama tiap kabinet dalam membuat kebijakan akan tetapi permasalahan ini tidak pernah selesai, Kondisi ini menjadi indikator bahwa masyarakat banyak belum berperan sebagai subyek dalam pembangunan nasional. Untuk sampai pada tujuan tersebut, rakyat perlu dibekali modal material dan mental Indikator ini juga telah menginspirasikan perlunya pemberdayaaan ekonomi rakyat yang kemudian berkembang menjadi isu untuk membangun sistem perekonomian yang bercorak kerakyatan. Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan harus menggunakan pendekatan multi disiplin yang berdimensi pemberdayaan, Pemberdayaan yang tepat harus memadukan aspek-aspek penyadaran, peningkatan kapasitas, dan pendayagunaan hal ini dikarenakan Permasalahan pemberdayaan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi.
Selain itu dalam pembangunan bidang ekonomi, harus menekankan implementasi azas kekeluargaan  sebagai mana tercantum dalam UUD 1945 (pasal 33 ayat 1) dan penyelenggaraan perekonomian nasional yang berdasar atas demokrasi ekonomi (pasal 33 ayat 4). Dalam hal ini pemberdayaan UKM, berkaitan langsung dengan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Selain itu, potensi dan peran strategisnya telah terbukti menjadi penopang kekuatan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Keberadaan Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) yang dominan sebagai pelaku ekonomi nasional juga merupakan pengerak dalam pembangunan ekonomi rakyat, khususnya dalam rangka perluasan kesempatan berusaha bagi wirausaha baru dan penyerapan tenaga kerja serta menekan angka pengangguran.
Salah satu cara meningkatkan peran masyarakat dalam memajukan kesejahteraan umum adalah antara lain dengan meningkatkan pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM). Kegagalan pola pembangunan ekonomi yang bertumpu pada konglomerasi usaha besar yang pernah di terapkan orde baru telah mendorong para perencana ekonomi untuk mengalihkan upaya pembangunan dengan bertumpu pada pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. Secara nyata Usaha Kecil Menengah (UKM) juga sebagai sektor usaha yang berperan besar terhadap pembangunan nasional, terbukti telah mampu menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga kerja dalam negeri, sehingga sangat membantu dalam mengurangi jumlah pengangguran.
Dari sekian banyak jenis  Usaha Warung tegal merupakan salah satu jenis usaha yang dapat digolongkan sebagai Usaha mikro sekaligus Usaha kecil yang tergolong dalam batasan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008  tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). maka batasan Usaha mikro  dan Usaha kecil didefinisikan sebagai berikut :
a.       Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
b.      Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Tabel 1.1 Berikut  batasan UKM menurut jumlah asset dan omzet     berdasarkan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008

No
URAIAN
KRITERIA
ASSET
OMZET
1
USAHA MIKRO
Maks. 50 Juta
Maks. 300 Juta
2
USAHA KECIL
> 50 Juta - 500 Juta
> 300 Juta - 2,5 Miliar
3
USAHA MENENGAH
> 500 Juta - 10 Miliar
> 2,5 Miliar - 50 Miliar
Sumber : Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008
Dalam rangka mewujudkan  pemberdayaan masyarakat, Maka pada tanggal 5 November 2007, Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Kredit Usaha Rakyat untuk membantu permodalan sektor Usaha Kecil Dan Menengah. Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disebut KUR adalah kredit modal kerja dan atau kredit investasi yang diberikan oleh Perbankan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan koprasi (UMKM-K) yang feasible maksudnya adalah usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan tetapi belum bankable atau belum dapat memenuhi persyaratan perkreditan atau pembiayaan dari Bank pelaksana antara lain dalam hal penyediaan agunan dan pemenuhan persyaratan perkreditan atau pembiayaan yang sesuai dengan ketentuan Bank Pelaksana termasuk sector Usaha Kecil Dan Menengah (UKM), memiliki usaha produktif yang didukung dengan program penjaminan.  
Landasan operasional Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah Peraturan Presiden nomor  2 tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan,yang mengatur lembaga penjaminan baik lembaga keungan yang berbentuk Bank maupun lembaga keuangan bukan bank yang akan memberikan penjaminan kredit, melihat pentingnya percepatan pertumbuhan ekonomi untuk memajukan kesejahteraan umum perlu mendapat dorongan yang lebih maka pemerintah melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6  Tahun  2007 Tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil Dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah. dengan ini menginstruksikan, Kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan kementrian  serta lembaga Negara terkait untuk Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi indonesia.
Dengan adanya Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) usaha kecil dan menengah diharapkan mampu bertahan menguat dan memulihkan perekonomian nasional, disamping bisa lebih berdaya yang menuju kepada kesejahteraan. Program kur bertujuan memberikan bantuan secara materil terhadap usaha kecil dan menengah, dimana modal merupakan permasalahan utama usaha kecil dan menengah. Program Kredit Usaha Rakyat merupakan program nasional yang bertujuan untuk memberdayakan usaha kecil dan menegah.
Dalam era otonomi daerah maka setiap program yang sifatnya Nasional seyogyanya dilaksakan secara terkordinasi dengan pemerintah daerah sebagai bagian dari Negara kesatuan rebublik indonesia, begitu juga dengan program nasional Kredit Usaha rakyat. Dalam hal ini peneliti memfokuskan penelitian tentang Kredit Usaha Rakyat di Kota Tegal yaitu tentang pengaruh Kredit Usaha Rakyat terhadap evektifitas pemberdayaan Usaha Kecil Dan Menegah (UKM) Warung Tegal (WARTEG).
Usaha Warung Tegal di Kota Tegal merupakan usaha yang sangat potensial untuk dikembangkan mengingat usaha Warung Tegal sudah pemiliki pasar tersendiri di mata pelangan disamping jumlahnya yang lumayan banyak dan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap peningkatan pendapatan ekonomi  masyarakat ini terbukti dari data dinas perdangangan perindusterian dan koprasi Kota Tegal, dinama salah satu mata pencaharian terbesar masyarakat kota tegal yaitu sebanyak  18.59% adalah pedagang dan 10% diantaranya adalah Pedagang Warteg. Selain itu Warteg Juga merupakan icon atau ciri khas Kota Tegal khususnya di Kecamatan Margadana, yang  diharapkan biasa meningkatkan perekonomian warga kota Tegal Berikut ini data yang menujukan mata pencaharian masyarakat Kota Tegal           :
Tabel 1.2 Mata Pencaharian  Masyarakat Kota Tegal

No
Jenis Mata Pencaharian
JUMLAH
1
Petani Sendiri
1.692 Orang
2
Buruh Tani
5.209 Orang
3
Nelayan
141 Orang
4
Pengusaha
267 Orang
5
Buruh Industeri
5.451 Orang
6
Buruh Bagunan
2.374 Orang
7
Pedagang/Pedagang WARTEG
11.479 Orang
8
Pengangkutan
1.308 Orang
9
Pengawai Negri Sipil/TNI POLRI
457 Orang
10
Pensiunan
222 Orang
11
Lain-Lain
9.263 Orang
Jumlah
37.863 Orang
                          Sumber : DISPERINDAGKOP Kota Tegal Tahun 2011
Dari data diatas serta Menurut keterangan petugas Dinas Perindusterian, Perdagangan dan koprasi Kota Tegal (DISPERINDAGKO) Menunjukan bahwa Warung Tegal memiliki konteribusi yang cukup besar selain sektor Usaha lain yaitu sebesar 10% Dari jumlah pedagang di Kota Tegal atau kurang lebih 12.000 jiwa sebagai pengusaha Warung Tegal di perantauan Sedangkan di kecamatan Margadana pengusaha warteg tercatat sebagai berikut.
Tabel 1.3 Jumlah Pengusaha Warteg Di
      Kecamatan Margadana

No
NAMA
KELURAHAN
JUMLAH
PENGUSAHA WARTEG
1
KALIGANGSA
26
2
KRANDON
83
3
CABAWAN
58
4
KALINYAMAT KULON
97
5
MARGADANA
33
6
SUMURPANGGANG
97
7
PESURUNGAN LOR
46
JUMLAH
440
                       Sumber : Kecamatan Margadana Kota Tegal Tahun 2011
Dengan adanya program Kredit Usaha Rakyat diharapkan Warung Tegal (Warteg) bisa memberikan konteribusi yang lebih terhadap peningkatan Perekonomian masyarakat Kota Tegal pada umumnya dan masyarakat Kecamatan Margadana pada khususnya, sekaligus meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat.
Sejauh ini Penyaluran Kredit Usaha Rakyat terhadap Usaha Kecil Dan Menegah (UKM) Warung Tegal (Warteg) di kota Tegal berjalan Sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan pemerintah dan perbankkan sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.05/2009. Kredit usaha rakyat ini diperuntukkan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta koperasi untuk memberikan kemudahan bagi UMKM pemerintah memberikan jaminan melalui perusahaan penjamin yaitu PT. Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) sebesar 70% dari jumlah pinjaman sementara sisanya sebesar 30% ditanggung oleh pihak bank. Dalam  tahap awal program, Kredit Usaha Rakyat ini dilaksanakan hanya terbatas oleh bank-bank yang ditunjuk oleh pemerintah saja, yaitu : Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Tabungan Negara dan Bank Bukopin. Penyaluran pola penjaminan difokuskan pada lima sektor usaha, yaitu pertanian, perikanan dan kelautan, koperasi, kehutanan, serta perindustrian dan perdagangan dimana kelima sektor ekonomi tersebut sangat membutuhkan pendanaan untuk mengembangkan usahanya.
Dalam hal ini Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Warung Tegal (Warteg) sebagai salah satu sektor ekonomi yang menjadi sasaran Program Kredit Usaha Rakyat di harapkan mampu mengatasi permasalahan permodalan dalam mengembangkan usahanya mengingat besarnya manfaat yang di berikan dari Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Maka pemerintah melalui peraturan kementeri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor : KEP-07/M.EKON/01/2010 Tentang penambahan Bank Pelaksana Kredit Usaha Rakyat, Bank pelaksana tambahan tersebut antara lain melibatkan 13 Bank Pembangunan Daerah (BPD) meliputi BPD Jabar-Banten, BPD DKI, BPD Jatim, BPD Jateng, BPD Kalbar, BPD Kalsel, BPD Kalteng, BPD DIY, BPD Nagari, BPD NTB, BPD Sulut, BPD Maluku dan BPD Papua. Dalam  proses penelitian peneliti memfokuskan pada satu bank yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang dalam hal ini Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Sumur pangang Kecamatan Margadana Kota Tegal mengingat letak dan posisi Bank yang sangat dekat dengan lokasi penelitian yaitu di kecamatan Margadana Kota Tegal, Selain itu  Bank BRI juga merupakan pelopor dari program Kredit usaha rakyat. Untuk Lebih jelasnya tentang perkembangan penyaluran Kredit Usaha Rakyat dapat terlihat dari data target dan Realisasi  penyaluran Kredit Usaha Rakyat terhadap Usaha Kecil dan Menengah  sebagai berikut.
Tabel 1.4 Realisasi Penyaluran KUR Terhadap Usaha Kecil dan Menengah Di Bank BRI Unit Sumur Pangang Kecamatan Margadana Kota Tegal

No.
Jenis Usaha Penerima KUR
Jumlah Debitur Tahun
Rata-rata Kredit (Rp juta/Debitur)
2008
2009
2010
1.
Toko Sembako
136
154
128
10
2.
Warung Makanan Dan Minuman
355
385
490
50
3.
Meubel
9
17
20
100
4.
Penjahit

23
21
24
5
5.
Salon
26
28
20

6
5.
Pedagang Bakso
26
28
20

7
6.
Roti Dan Kue
5
3
1
10
7.
Toko Bagunan
12
20
15
200
8.
Toko Elektronik

14
23
7
100
9.
Pedagang Gorengan

25
28
15
5
10.
Pedagang Martabak

27
28
11
5
11.
Bengkel Motor
12
25
17
25
  Sumber : Data KUR. BRI Unit  Sumur pangang Kota Tegal per 01 Desember 2010.
Data tersebut menunjukkan bahwa demikian besar perhatian Pemerintah khususnya terhadap pengembangan sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), ini terbukti dari banyaknya dana yang kucurkan. Sedangkan  untuk tingkat nasional Pada tahun  2010, sebesar Rp15,39 miliar dari total target realisasi Rp20 miliar sepanjang tiga bulan pertama. Kini di triwulan 1 tahun 2011, KUR yang tersalurkan tercatat 29,8% dari rencana penyaluran Rp20 triliun.
Namun demikian dalam kenyataannya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) khususnya UKM Warung Tegal (Warteg) Sebagai salah satu sektor UKM  penerima program Kredit Usaha Rakayat Belum Mengalami Peningkatan Seperti yang diharapkan. Di samping permasalahan permodalan Pada sisi lain UKM Warteg masih menghadapi banyak masalah dan hambatan dalam melaksanakan dan mengembangkan aktivitas usahanya. Masalah dan kendala Yang muncul dalam penyaluran Kredit Usaha Rakayat terhadap UKM Warteg  antara lain, Masih kurangnya sosialisasi Menyebabkan Banyak masyarakat masih berangapan bahwa Kredit Usaha Rakayat dikucurkan dengan perlu menjaminkan sesuatu (agunan). Selain itu  ditemukan beberapa masyarakat yang menggunakan Kredit Usaha Rakayat bukan dipakai sebagai modal usaha melainkan untuk kredit konsumtif. Paradigma ini harus dirubah dalam masyarakat. Sebab pemberian Kredit Usaha Rakayat merupakan bentuk bantuan pemerintah untuk memotivasi UMKM-K untuk dapat mengembangkan usahanya. Kredit Usaha Rakyat yang disalahartikan dan disalahgunakan oleh masyarakat hanya akan menghambat program ini karena akan menyebabkan kepercayaan perbankan kepada masyarakat akan menurun.
Akibat kurangnya sosialisai juga mengakibatkan sulitnya memperoleh calon debitur yang kredibel. Sedangkan dari sisi debitur, kendala-kendala yang dihadapi UMKM adalah sulitnya pemenuhan aspek legalitas seperti izin usaha, analisis kebutuhan kredit dan agunan tambahan. Selain itu masih adanya anggapan bahwa Kredit Usaha Rakyat  adalah bantuan pemerintah sehingga kadang dianggap tidak perlu dikembalikan. Kondisi ini mirip seperti saat dulu pemerintah pernah mencanangkan kredit usaha tani.
Ketidak jelasan peran petugas pelaksana menyebabkan saling lepar tangung jawab sehingga petugas cenderung pasif dalam pelaksanaan program khususnya petugas dari Dinas Perindagkop sebagai fasilitator masyarakat kepada Bank, Pentingnya Kredit Usaha Rakayat dalam mendorong kesejahteraan masyarakat membutuhkan peran berbagai pihak, baik pihak Bank pelaksana sebagai penyalur dana kredit, Pemerintah daerah sebagai fasilitator, maupun masyarakat sebagai subyek dari program Kredit Usaha Rakayat.
Masalah lain juga muncul dari segi Manajemen Usaha Kecil, dan Menengah (UKM), tidak adanya kompetensi pengalaman dan kemampuan pengambilan keputusan yang rendah dari pemilik adalah masalah utama dari kebanyakan usaha kecil dan menegah. Para manajer yang sebagian merangkap sebagai pemilik usaha  biasanya tidak mempunyai kapasitas untuk mengoperasikan usaha dan mereka memiliki kemampuan kepemimpinan dan pengetahuan tentang bisnis yang rendah, selain itu Pengendalian keuangan yang rendah menyebabkan Lemahnya manajemen strategi Usaha,  tidak mempunyai perencanaan bisnis yang sebenarnya dapat digunakan untuk merencanakan pengembangan usahanya. Pembuatan perencanaan bisnis mendorong pengusaha untuk melihat potensi usahanya secara realistis namun sapek ini tidak di sentuh dalam kebijakan kredit usaha rakyat. Lemahnya kendali pengawasan yang dilakukan pihak bank dan pemerintah dalam proses penyaluran Kredit Usaha Rakayat memicu besarnya resiko kredit macet.
Program Kredit Usaha Rakayat sebagi salah satu usaha Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan  pemerintah pusat, yang telah berjalan sejak tahun 2007 dinilai oleh para pengusaha Warteg  masih belum efektif karena dalam pelaksanaannya tidak tepat sasaran dan tidak sesuai kebutuhan sehingga pengusaha Warteg cenderung masih sulit mengembangkan usahanya.         
 Sedangkan pemberdayaan yang selama ini di jalankan oleh pemerintah daerah melalui beberapa instansi antara lain Disperindagko Kota Tegal belum menunjukan perubahan yang lebih baik. Salah satu bentuk Kegiatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah yang ada di kecamatan margadana antara lain mencakup:
  1. Peningkatan akses pengembangan SDM atau profesionalisme UKM, dengan tujuan membantu UKM dalam mengatasi, keterbatasan akses informasi dan teknologi Meningkatkan penguasaan teknologi, dengan tujuan meningkatkan efisiensi, produktifitas dan daya saing UKM, agar UKM mampu melihat, menilai dan memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya dan cepat tanggap mengantisipasi setiap perubahan.
  2. Bantuan pendamping  usaha, Pelatihan, masyarakat pengusaha UKM. Tugas utama pendamping ini adalah memfasilitasi proses Pelatihan Tataboga yang dilaksanakan melalaui gerakan Ibu-ibu PKK, yang bertujuan memberi pengetahuan teknik dan resep-resep baru dalam mengolah masakan dan menjadi mediator dalam mengakses bantuan modal.
  3. Membantu Peningkatan akses Pemasaran dan jaringan usaha dengan membentuk Paguyuban Warung Tegal pada setiap daerah atau kota yang menjadi lokasi usaha Warung Tegal, dengan tujuan agar UKM  Warung tegal mampu menguasai, mengelola dan mengembangkan pasar, degan berbagi informasi antar pengusaha.
  4. Peningkatan akses bantuan modal usaha, dengan tujuan memperkuat struktur permodalan UKM dan meningkatkan akses ke sumber-sumber pembiayaan, sebagai stumulan, tetapi harus dijamin adanya kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang masih lemah dan belum berkembang. 
Berdasarkan pengamatan peneliti, terdapat gejala-gejala bahwa pemberdayaan masyarakat bagi para Pengusaha Warteg masih minim dan dinilai masih belum efektifnya upaya-upaya yang dilakukan dalam usaha pemberdayaan,  dikarenakan implementasi kebijakan Pemerintah yang belum optimal, berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pemerintah seperti sebagai berikut :
1.      Masih kurangnya sosialisasi kebijakan Pemerintah pusat tentang kredit usaha rakyat oleh pemerintah Daerah kepada pengusaha Warung Tegal.
2.      Kurang peran pemerintah daerah sebagai wakil pemerintah pusat dalam memediasi pihak Bank Pelaksana dalam menyalurkan Kredit Usaha Rakayat  kepada pengusaha Warung Tegal.
3.      Kurang jelasnya tugas dan fungsi pelaksana kebijakan Dalam hal ini posisi pemerintah daerah.
Di dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menganalisis masalah tersebut dengan menghubungkan dengan salah satu variabel pengaruh yaitu implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakayat (KUR) terhadap efektivitas pemberdayaan Usaha Kecil, dan Menengah Warung Tegal (Warteg). Di dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menganalisis masalah tersebut dengan menghubungkan dengan salah satu variabel pengaruh yaitu implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat terhadap pemberdayaan UKM Warung Tegal Karena aspek kebijakan secara teoritis merupakan serangkaian keputusan yang dapat dipergunakan sebagai landasan bertindak dalam usaha mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Dengan memperhatikan latar belakang diatas dan untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai usaha Kecil Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal, dalam penelitian ini peneliti mengambil judul “Pengaruh Implementasi Kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat Terhadap Efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana  Kota Tegal”.
1.2 Pembatasan Masalah 
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti memfokuskan masalah pokok dalam penelitian ini adalah pengaruh implementasi kebijakan pemerintah dalam Pemberdayaan Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) Warung Tegal oleh Pemerintah masih kurang optimal. Terlihat dari adanya program-program pembinaan dan pengembangan untuk UKM masih belum optimal, kurangnya partisipasi masyarakat, rendahnya daya jual, dan lemahnya permodalan membuat banyak pengusaha Warteg yang terjerat Utang.
1.3 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka permasalahan dapat diidentifikasikan  sebagai berikut:
1)      Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat khususnya pada Usaha Kecil Menengah  Warung Tegal (Warteg) di Kecamatan Margadana Kota Tegal?
2)      Bagaimanakah Efektivitas Pemberdayaan pedagang Warung Tegal (Warteg)  Kecamatan Margadana Kota Tegal?
3)      Seberapa besar pengaruh Implementasi Kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat terhadap Efektivitas pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal?


1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui, memahami, menganalisis, bagaimana Implementasi Kebijakan Pemerintah tentang kredit usaha rakyat  terhadap pemberdayaan Warung Tegal di Kecamatan Margadana  Kota Tegal.
2.      Untuk mengetahui, memahami, menganalisis, bagaimana Pemberdayaan pengusaha Warung Tegal di kecamatan Margadana Kota Tegal.
3.      Untuk mengetahui, memahami, menganalisis, seberapa besar pengaruh Implementasi Kebijakan Pemerintah tentang Pemerintah tentang kredit usaha rakyat  terhadap pemberdayaan Warung Tegal di Kecamatan Margadana  Kota Tegal.
1.5 Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1.5.1        Secara  Teoritis,
a.       Untuk kepentingan Peneliti sebagai sarana untuk meningkatkan wawasan dan Ilmu Pengetahuan tentang kajian Ilmu Pemerintahan mengenai kebijakan, maka peneliti disini mengambil penelitian tentang pengaruh implementasi kebijakan pemerintah tentang Pemerintah tentang kredit usaha rakyat  terhadap pemberdayaan Warung Tegal di Kecamatan Margadana  Kota Tegal.
b.      Untuk kepentingan Akademis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baru dan berarti bagi perkembangan dan kemajuan Ilmu Pemerintahan.

1.5.2. Secara Praktis,
a.       Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca.
b.      Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan informasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah Kota Tegal dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah tentang kredit usaha rakyat  terhadap pemberdayaan Warung Tegal di Kecamatan Margadana  Kota Tegal.
1.6  Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan meliputi :1.1 Latar Belakang Penelitian,1.2 Pembatasan Masalah, 1.3 Identifikasi Masalah, 1.4 Maksud dan Tujuan Penelitian,1.5 Kegunaan Penelitian,1.6 Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran meliputi : 2.1 Tinjauan Pustaka dan 2.2.1 Paradigma penelitian, 2.2.2 Hipotesis, 2.2.3 Definisi Operasional
            Bab III Objek dan Metode Penelitian meliputi : 3.1.1 Populasi, 3.1.2 Sampel ,dan 3.2.1 Tipe Penelitian, 3.2.2 Instrumen Penelitian, 3.2.3 Teknik Pengumpulan Data, 3.2.4 Teknik Analisis Data, 3.2.5 Rencana pengujian keabsahan data, dan 3.2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan meliputi : 4.1 Hasil Penelitian dan  4.2 Pembahasan Hasil Penelitian.
Bab V Kesimpulan dan Saran yang terdiri dari : 5.1 Kesimpulan dan 5.2 Saran.
            Daftar Pustaka yang berisi daftar buku-buku atau literatur dan berbagai dokumen yang dijadikan rujukan dalam penyusunan skripsi.
Lampiran
Riwayat Hidup
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pengertian Pemerintah
Istilah pemerintah berasal dari kata perintah. Dalam hal ini Ndraha (dalam Napitupulu, 2007 : 7) menyatakan bahwa istilah “Perintah secara umum dimaknai, sebagai yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu atau sesuatu yang harus dilakukan. Dengan demikian pemerintah dapat diartikan sebagai orang, badan atau aparat yang mengaluarkan atau memberi perintah”.
Menurut Edward Finer (dalam Syafie dan Azikin, 2007 : 9) bahwa “Pemerintah harus mempunyai kegiatan terus-menerus (process), negara tempat kegiatan itu berlangsung (state), pejabat yang memerintah (the duty) dan cara, metode serta sistem (manner, method and system) dari pemerintah terhadap masyarakat”.
Pemerintah menurut Soemendar  (dalam Syafie dan Azikin, 2007 : 9) yaitu “Badan yang penting dalam rangka pemerintahannya, perlu memperhatikan pula ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan dan harapan serta pendapat rakyat, kebutuhan, kepentingan masyarakat, pengaruh-pengaruh lingkungan, pengaturan-pengaturan komunikasi peran serta seluruh lapisan masyarakat dan legitimasi”.
Adapun menurut Syafiie (2007 :20) pemerintahan berasal dari kata “pemerintah”, yang paling sedikit kata “perintah” tersebut memiliki empat unsur yaitu, ada dua pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut saling memiliki hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan”.
Dengan demikian berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pemerintah memiliki arti luas dan sempit, secara luas bahwa pemerintah adalah badan-badan publik tersebut adalah badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan pengertian pemerintah dalam arti sempit hanya selintas pada badan eksekutif, yaitu mempelajari bagaimana melaksanakan koordinasi dan kepemimpinan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan dalam hubungan-hubungan pusat dan daerah, antar negara, antar lembaga dan antar yang memerintah dengan yang diperintah.
2.1.2. Pengertian Kebijakan
Kata “Kebijakan” merupakan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “Policy”. Kalangan para ahli dalam menterjemahkan istilah Policy berbeda satu sama lain. Ada yang menterjemahkan kebijakan dan ada yang menterjemahkan kebijaksanaan. Dalam Dunn (1955 : 10) hal tersebut diuraikan sebagai berikut : “Secara Etimologis, istilah kebijaksanaan berasal dari bahasa Yunani dan sansekerta yaitu Polis (Negara/Kota) dan Pur (Kota). Kemudian istilah ini masuk kedalam bahasa Latin sebagai Politea (Negara) dan kepada bahasa Inggris sebagai Policie, yang berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan. Asal kata Policy ini, sama dengan kata-kata lainnya yaitu Police dan Politics. Inilah sebabnya mengapa banyak bahasa modern seperti bahasa Jerman dan Rusia hanya memiliki satu kata yaitu politik/politika untuk maksud politics dan policy dan akhirnya membuat kekacauan disekitar disiplin-disiplin ilmu seperti Ilmu Politik, Administrasi Negara dan Ilmu Kebijaksanaan”.
Sementara menurut Ibrahim (2004 ;1-2) mendefinisikan tentang kebijakan dan kebijaksanaan yaitu :
  1. Kebijakan (Policy)
  1. A Definite course of Action Adopted for the Sake Expediency, Facility, Etc;
  2. Action or Procedure Conforming to or Considered with Reference to Prodence or Expediency;
  3. Prudence, Practical wisdom or Expediency.
Dari ketiga penjelasan diatas dapat ditarik konsep dasar bahwa : kebijakan itu adalah prosedur memformulasikan sesuatu berdasarkan aturan tertentu. Disebutkan juga bahwa kebijakan itu bentuk nyata (praktis) dari kebijaksanaan.
  1. Kebijaksanaan (Wisdom)
  1. The quality or state of being wise, knowledge of what is true or right occupied with good judgment;
  2. Scholary knowledge or learning.
Dari Penjelasan diatas esensi yang dapat ditarik bahwa kebijaksanaan tersebut adalah wujud dari sesuatu yang bijak, yang benar dan yang merupakan sesuatu yang bijak, yang benar dan yang merupakn sesuatu yang dianggap benar dengan cara yang benar pula. Tahapannya lebih bersifat abstrak, suatu yang dianggap baik berdasarkan nalar kailmuan dan pengetahuan.
Sementara Syafiie (2003 : 168) mengungkapkan bahwa “kebijakan (policy) berbeda dengan kebijaksanaan (wisdom) karena kebijakan adalah perintah atasan, sedangkan kebijaksanaan adalah perubahan peraturan yang sudah ditetapkan oleh aturan sesuai keadaan situasi dan kondisi”. Ndraha (2003 : 493), menetapkan kedua istilah trsebut sebagai sebuah sub system dari sistem nilai dan mengartikan keduanya sebagai berikut :
  1. Kebijakan, untuk policy, yaitu pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi aktor atau lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
  2. Kabijaksanaan, juga merupakan pilihan terbaik namun berdasarkan hati nurani aktor dalam memecahkan suatu masalah yang secara etik dan moral mengikat.

Adapun peneliti akan menggunakan kata yang akan mengacu kepada policy. Namun demikian untuk definisi teori yang diungkapkan beberapa ahli dan diterjemahkan sebagai kebijaksanaan tidak akan peneliti ubah menjadi kebijakan.
Kebijakan diartikan bermacam-macam menurut Derbyshire, J. Denis (dalam Wibawa 1994 : 49), memberikan batasan terhadap policy sebagai “sekumpulan rencana kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan efek perbaikan terhadap kondisi-kondisi sosial dan ekonomi, dan Derbyshire menyebutkan bahwa policy merupakan produk akhir setiap pemerintahan, dalam arti merupakan kesepakatan terakhir antara eksekutif dengan wakil rakyat (legislative)”. Sedangkan Hofferbert, Richard I (dalam Wibawa 1994 : 49), mendefinisikan kebijakan adalah : “Setiap hubungan antara lembaga pemerintah dengan lingkungannya dan ia mengatakan “policy is made in variety contexs. Different contexs produce different policies”. Menurutnya konteks dari proses kebijakan, dan output (kebijakan itu sendiri). Lebih jauh ia memerinci lingkungan kebijakan ke dalam dua bidang, yaitu kondisi social ekonomi (misalnya seberapa tinggi derajat industrialisasi dan tingkat kemakmuran)dan proses politik (misalnya corak hubungan antara eksekutif legislative dan pola partisipasi massa)”.
Adapun James. E Anderson (dalam Wahab, 1990 : 27) yang mendefinisikan kebijakan dengan mendefinisikan bahwa kebijakan dengan menyatakan bahwa kebijakan “A purposive course of action followed by an actor or set of actors in deadling with problem or matter of concern”. Wahab menterjemahkannya bahwa “kebijakan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang actor untuk menangani suatu masalah atau hal yang mengkhawatirkan”.
2.1.2.1. Kebijakan Publik
Nugroho (2003 : 49) mengartikan “Kebijakan Publik yang terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing, dan bukan semakin menjerumuskan kedalam pola ketergantungan. Inilah makna strategis dari administrasi publik”.
Selanjutnya Donald F. Kettl (dalam Nugroho 2003 : 49) mengemukakan bahwa administrasi publik mengahadapi empat isu kritikal yaitu : “Pertama struktur, yang berkenaan dengan tantangan menguatnya swasta dan menyusutnya pemerintahan (best government is least government). Kedua berkenaan dengan proses administrasi publik, yaitu yang memperhadapkan kenyataan bahwa sumber deficit terbesar di setiap Negara adalah proses penyelenggaraan administrasi publik. Ketiga tentang nilai, yang antara lain berkenaan dengan munculnya icon entrepreneurial government. Keempat kapasitas, yaitu yang berkenaan dengan isu kecakapan dari administrator public memanajemeni urusan-urusan publik”.
Kebijakan publik sebenarnya adalah kontrak antara rakyat dengan penguasa akan hal-hal penting apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, sebuah istilah Jean Rousseau, filsuf social Perancis yang sejaman dengan, Montesquieu sebagai the social contract or principles of political rights, sebagai nama Rousseau, (dalam Nugroho 2003 : 59) menyatakan bahwa “Kebijakan publik adalah kontrak social itu sendiri”.
Thomas R. Dye (dalam Nugroho 2003 : 3) mendefinisikan kebijakan publik yaitu “sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda”. Harold Laswell (dalam Nugroho 2003 : 3 ) mendefinisikannya “sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktek-praktek tertentu”. Carl I. Friedrick (dalam Nugroho 2003 :3) mendefinisikan sebagai “serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan-hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu”.
2.1.2.2. Implementasi Kebijakan
Kata Implementasi merupakan adaptasi dari kata Implementation yang berasal dari kata dasar “to implement”. Menurut Nugroho (2003 : 158) menjelaskan bahwa “Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan public, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut”.
Keberhasilan suatu kebijakan ditentukan atau dipengaruhi pula oleh kebijakan itu sendiri. Menurut Tachjan (2006 : 21) menjelaskan bahwa : “Dilihat dari prosesnya, efektivitas kebijakan publik akan ditentukan atau dipengaruhi oleh pertama, proses perumusan kebijakannya ; kedua, oleh proses implementasinya atau pelaksanaannya ; dan ketiga, oleh proses evaluasinya. Ketiga tahapan kebijakan tersebut mempunyai hubungan kausal dan siklikal”.
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (dalam Wahab 1990 : 71) untuk dapat melaksanakan kebijakan Negara secara sempurna (perfect Implementation) diperlukan beberapa syarat yang dikenal dengan “The Top Down Approach” meliputi :
1.      Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.
2.      Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
3.      Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
4.      Kebijaksanaan yang diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal
5.      Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubung
6.      Hubungan saling ketergantungan harus kecil
7.      Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
8.      Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
9.      Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
10.  Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Mirelle S. Grindle (dalam Nugroho 2003 : 53) yang pada pemetaan kita beri label “GR” yang terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan lebih berada di “mekanisme paksa” dan pada “mekanisme pasar”. Model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat Implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup :
  1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan Berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaanya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya.
  2. Jenis manfaat yang akan dihasillkan Menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
  3. Derajat perubahan yang diinginkan Seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
  4. Kedudukan pembuat kebijakan Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang diimplementasikan.
  5. (Siapa) pelaksana program Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus di dukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang teraarah demi keberhasilan suatu kebijakan.
  6. Sumber daya yang dikerahkan Pelaksana suatu kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.

            Sementara itu Konteks implementasinya adalah :

1.      Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat Dalam pelaksanaan kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksana suatu implementasi kebijakan.
2.      Karakteristik lembaga dan penguasa Karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
3.      Kepatuhan dan daya tanggap Sejauh mana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau konten dan lingkungan-lingkungan konteks diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui apakah suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang terjadi.
Sedangkan menurut Marsee (dalam Hoogerwerf, 1983 : 168-174), implementasi kebijaksanaan akan tergantung kepada aspek-aspeknya, aspek-aspek tersebut adalah :
a.       Isi Kebijaksanaan : “Kebijaksanaan yang dilaksanakan harus jelas, jika samar-samar isi kebijaksanaan (tujuan dan sarana) dapat menggagalkan pelaksanaan kebijaksanaan”
b.      Informasi Kebijaksanaan : “Kejelasan informai dalam pelaksanaan kebijaksanaan merupakan faktor yang penting, karena kekurangan informasi dapat mengakibatkan adanya gambaran yang kurang lengkap dan tepat baik pada objek kebijaksanaan maupun pada pelaksana mengenai isi kebijaksanaan yang akan dilaksanakan dari hasil-hasil kebijaksanaan ini”
c.       Dukungan Kebijaksanaan : “Pelaksana kebijaksanaan akan berjalan dengan baik apabila memperoleh dukungan dari pelaksana kebijaksanaan itu sendiri. Dukungan itu meliputi kejelasan informasi, perolehan imbalan jasa dari objek kebijaksanaan”
d.      Pembagian Potensi : “Gagalnya pelaksana kebijaksanaan berkenaan dengan pembagian potensi yang tidak seimbang antara fakta-fakta yang terlibat dalam pelaksana kebijaksanaan. Hal ini berkaitn dengan organisasi pelaksana, antara lain tingkat deferensiasi dari tugas-tugas, delegasi wewenang tanggung jawab, koordinasi dan sebagainya”.
Berkaitan dengan Pengaruh implementasi kebijakan pemerintah tentang Kredit Usaha rakyat terhadap efektivitas pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal (Warteg) di Kecamatan Margadana Kota Tegal tersebut teraplikasi sebagai berikut : berhasil atau tidaknya dalam rangka pencapaian tujuan memerlukan tindakan lebih lanjut yaitu implementasi kebijakan.
Menurut George Edward III (dalam Winarno, 2002 : 125) mengemukakan bahwa dalam implementasi kebijakan diperlukan variabel-variabel pelaksanaan yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu :
1.      Komunikasi memegang peranan penting dalam proses kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melakasanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapijika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi inipun cenderung tidak efektif.
2.      Sumber-sumber dapat merupakan faktor yang penting untuk meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperklukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
3.      Kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.
4.      Struktur birokrasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh penting ada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek structural paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (Standard Operating Prosedure, SOP). Prosedur-prosedur biasa ini dalam menanggulangi keadaan-keadaan umum digunakan dalam organisasi-organisasi public dan swasta. Dengan menggunakan SOP para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan fragmentasi organisasi adalah struktur organisasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan.
2.1.3. Pengertian Kredit

Pengertian Kredit Menurut asal mula kata “kredit” dari kata Credere, yang dalam bahasa Yunani artinya adalah kepercayaan, maksudnya adalah apabila seseorang memperoleh kredit maka berarti mereka memperolah kepercayaan. Sedangkan bagi si pemberi kredit artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang bahwa uang yang dipinjamkan pasti kembali.
Pengertian “kredit” menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”
Sedangkan pengertian kredit menurut Eric L. Kohler (1964;154) “Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan dan ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang disepakati”.
Pengertian kredit menurut Teguh Pudjo Muljono (1989;45) : “Kredit adalah suatu penyertaan uang atau tagihan atau dapat juga barang yang menimbulkan tagihan tersebut pada pihak lain. Atau juga memberi pinjaman pada orang lain dengan harapan akan memperoleh suatu tambahan nilai dari pokok pinjaman tersebut yaitu berupa bunga sebagai pendapatan bagi pihak yang bersangkutan”.
Ikatan Akuntan Indonesia (2004:31.4) mendefinisikan kredit sebagai berikut: “Kredit adalah pinjaman uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Hal yang termasuk dalam pengertian kredit yang diberikan adalah kredit dalam rangka pembiayaan bersama, kredit dalam restrukturisasi, dan pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan Note Purchase Agreement (NPA)”.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Kemudian adanya kesepakatan antara bank sebagai kreditur dan nasabah penerima kredit sebagai debitur, dengan perjanjian yang telah dibuat. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula dengan masalah sangsi apabila debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat.
Sedangkan Pengertian Kredit Usaha Rakyat  Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.05/2009. tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat, pengertian KUR adalah : “kredit atau pembiayaan kepada UMKM-K (Usaha Mikro, Kecil, Menengah-Koperasi) dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif “.
Sedangkan pengertian Kredit Usaha Rakyat menurut Surat Edaran PT. BRI (PERSERO) Tbk Nose: S.08-DIR/ADK/03/2010, Tentang Kredit Usaha Rakyat: “Kredit Usaha Rakyat adalah kredit modal kerja dan atau investasi kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK) di bidang usaha produktif dan layak namun belum bankable dengan plafond kredit sampai dengan Rp.500 juta (total eksposur) dan dijamin oleh Perusahaan Penjamin”.
2.1.4.  Efektivitas Pemberdayaan
2.1.4.1. Pengertian Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata “Efektif” yang merupakan suatu kondisi tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Handayaningrat (1992 : 18) mengemukakan definisi efektivitas adalah sebagai berikut :
Efektivitas adalah :”pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelas bila sasaran atau tujuan yang telah dicapai sesuai dengan yang direncanakan adalah efektif. Efektivitas dalam pekerjaan yaitu suatu tujuan yang telah tercapai sesuai rencana, berarti efektif walaupun belum tentu efisien karena suatu pekerjaan Pemerintah jika telah selesai, tidak lain mempunyai pengaruh yang besar terhadap kepentingan orang banyak baik politik, sosial, budaya dan sebagainya”.

Dalam manajemen yang dimaksud dengan efektivitas berkenaan dengan keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi. Landasan teori pengujian hipotesis efektivitas pemberdayaan pengrajin sepatu mengacu pada teori yang dikemukakan oleh para ahli. Antara lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Lubis (1986:33) mengemukakan bahwa :
Efektifitas berarti bahwa segala sesuatu dilaksanakan berdaya guna yang berarti cepat, tepat, hemat, dan selamat.
1.      Tepat, atinya apa yang dikehendaki tercapai, kena sasaran, memenuhi target, dan apa yang dicita-citakan menjadi relistis.
2.      Cepat, artinya sebelum waktu yang telah ditetapkan pekerjaan dapat diselesaikan atau sesuai dengan waktu yang ditetapkan pekerjaan dapat diselesaikan.
3.      Hemat, artinya tanpa terjadinya pemborosan dalam bidang apapun dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan tersebut.
4.      Selamat, artinya tanpa mengalami hambatan-hambatan yang dapat menyebabkan kegagalan atau seluruh usaha pencapaian tujuan tertentu.

Upaya pemberdayaan masyarakat dalam program revitalisasi yang meliputi perbaikan infrastruktur dan peningkatan manajerial dan juga pelatihan untuk memperkuat kemampuan masyarakat sebagai pelaku utama (subjek) dan penerima manfaat (objek) pemberdayaan, dengan didampingi fasilitator dari Dinas (pihak konsultan). Yang menjadi tolak ukur efektivitas pemberdayaan masyarakat menurut Hidayat (1986 : 7) mengemukakan definisi efektivitas adalah sebagai berikut :
Efektivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) yang dicapai, semakin besar target yang dicapai maka semakin tinggi efektivitasnya.
a.       Kualitas, yaitu tercapainya tujuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam pelaksanaan program pemerintah.
b.      Kuantitas, yaitu banyaknya masyarakat dan aparat yang berpartisipas dalam pelaksanaan program pemerintah.
c.       Waktu, yaitu ketepatan dan banyaknya waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk ikut serta dalam program pemerintah.
Mengacu pada pengertian efektivitas yang dikemukakan para ahli tersebut diatas, maka pengertian efektivitas pemberdayaan UKM Warteg adalah suatu keberhasilan yang dicapai dalam proses pengembangan UKM Warteg di Kecamatan Margadana Kota Tegal tepat sesuai sasaran.


2.1.4.2. Pengertian Pemberdayaan
Istilah pemberdayaan sering kali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dilingkungan masyarakat maupun lingkungan akademis. Istilah pemberdayaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “empowerment”, dapat diartikan sebagai “pemberkuasaan”, dalam arti pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat lemah.
Berdasarkan hasil dari penelitian kepustakaan tentang pengertian diatas dinyatakan oleh Ife (dalam Suharto, 2005 : 59) pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan buka hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas :
  1. Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.
  2. Pendefinisian kebutuhan : kemapuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.
  3. Ide atau gagasan : kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secera bebas dan tampa tekanan.
  4. Lembaga-lembaga : kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempangaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.
  5. Sumber-sumber : Kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.
  6. Aktivitas ekonomi : kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa.
  7. Reproduksi : kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan, dan sosialisasi.
Menurut Ndraha (2003 : 75-76) ada pemberdayaan dalam arti empowering,  yaitu pemberian hak atau kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasinya atau menentukan masa depannya, jadi bersifat politik dan ada pemberdayaan dalam arti enabling, yaitu
proses belajar untuk meningkatkan ability, capacity, dan capability masyarakat untuk melakukan sesuatu demi menolong diri mereka sendiri dan membari sumbangan sebesar mungkin bagi integritas nasional.
Sementara Soeharto (2005 : 58) menyatakan bahwa : “Pemberdayaan menunjukan pada kemampuan orang. Khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka mamiliki kekuatan dan kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan, (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jas-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Suharto juga mengemukakan (2005 : 59-60) bahwa pemberdayaan adalah Sebuah proses dan tujuan Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dal;am masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami maslah kemiskinan, Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjukan pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang secara fisik, ekonomi, maupun sosial, seperti memiliki kepercayaan diri, maupun menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Menurut pendapat Suhendra (2006 : 74) bahwa pemberdayaan adalah : “Suatu kegiatan yang berkesinambungan, dinamis, secara sinergis mendorong keterlibatan semua potensi. Dengan cara ini akan memungkinkan terbentuknya masyarakat madani yang majemuk, penuh keseimbangan kewajiban dan hak, saling menghormati tanpa ada yang merasa asing dalam komunitasnya”.
Pemberdayaan tersebut merupakan upaya untuk memberikan kemampuan, berdaya atau memiliki kekuatan sehingga menghasilkan kemandirian kepada individu atau kelompok. Karena pemberdayaan dapat dilakukan kepada individu dan kelompok. Menurut Wasistino (1998 : 46) pemberdayaan dapat dibedakan menjadi empat macam dilihat dari sasaran dan ruang lingkupnya, yaitu sebagai berikut : “Pemberdayaan pada individu anggota organisasi atau anggota masyarakat; Pemberdayaan pada tim atau kelompok masyarakat; Pemberdayaan pada organisasi; dan Pemberdayaan kepada masyarakat secara keseluruhan”.
Jika dilihat dari sasaran dan ruang lingkupnya maka pemberdayaan yang dilakukan lebih terfokus kepada pemberdayaan pada tim atau kelompok masyarakat. Namun karena didalam kelompok masyarakat terdiri dari individu-individu, maka dengan sendirinya pemberdayaan dilakukan kepada individu atau anggota masyarakat.


2.1.4.2. Metoda dan Teknik Pemberdayaan
Banyak sekali teknik pemberdayaan masyarakat yang telah dihasilkan. Semuanya sangat bermanfaat dan membantu efektivitas dan efesiensi upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Setiap teknik mempunyai karakteristik sendiri. Ada beberapa teknik yang telah banyak digunakan orang dalam melakukan pemberdayaan. Menurut Suhendra (2006 : 104) teknik-teknik tersebut adalah :
1. Participatory Rural Apraisal
2. Metode Participatory Assement
3. Metode Lokakarya
4. Teknik Brainstorming
5. CO-CD (Comunity Organization and comunity development).
Salah satu teknik pemberdayaan yang sudah lama dikenal di Indonesia adalah PRA (Participatory Rural Apraisal) yang banyak digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Menurut Suhendra (2006 : 105-108) teknik dilakukan melalui penerapan 11 prinsip utama yaitu :
  1. Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan)
  2. Prinsip pemberdayaan (penguatan) masyarakat
  3. Prinsip masyarakat sebagai pelaku, orang luar sebagai fasilitator
  4. Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan
  5. Prinsip santai dan informal
  6. Prinsip triangulasi
  7. Prinsip mengoptomalkan hasil
  8. Prinsip orientasi praktis
  9. Prinsip keberlanjutan dan selang waktu
  10. Prinsip terbuka

Dalam implementasi prinsip-prinsip itu menurut Suhendra (2006 : 108-110) PRA melakukan lima program dasar, yaitu :
  1. Penjajagan atau pengenalan kebutuhan
  2. Perencanaan kegiatan
  3. Pelaksanaan dan pengorganisasian kegiatan
  4. Pemanduan kegiatan
  5. Evaluasi kegiatan.
2.1.4.3. Proses Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan dasar pemberdayaan menurut Payne (dalam Huraerah, 2008 : 86) adalah “menciptakan keadilan sosial dengan memberikan ketentraman kepada masyarakat yang lebih besar serta persamaan politik dan sosial melalui upaya saling membantu dan belajar melalui pengembangan langkah-langkah kecil guna tercapainya tujuan yang lebih besar”. Namun demikian, untuk memberdayakan masyarakat memerlukan rangkaian proses yang panjang (tidak seketika) agar mereka menjadi lebih berdaya.
Proses pemberdayaan cederung dikaitkan sebagai unsur pendorong sosial, ekonomi dan politik. Huraerah menyatakan bahwa pemberdayaan adalah “suatu upaya dan proses bagaimana agar berfungsi sebagai “power” (driving’s force) dalam pencapaian tujuan yaitu pengembangan diri (self-development)”.
Adapun proses pemberdayaan secara umum menurut Hikmat (2004 : 44) proses pemberdayaan meliputi kegiatan-kegiatan berikut :
  1. Merumuskan relasi kemitraan
  2. Mangartikulasikan tantangan-tantangan dan mengidentifikasi berbagai kekuatan yang ada
  3. Mendefinisikan arah yang ditetapkan
  4. Mengeksplorasi sistem-sistem sumber
  5. Menyusun frame pemecahan masalah
  6. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber dan memperluas kesempatan-kesempatan
  7. Mengakui temuan-temuan
  8. Mengintegrasikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai

Proses pemberdayaan tersebut memperlihatkan bahwa pemberdayaan memerlukan pemahaman ata kondisi lembaga atau masyarakat yang akan diberdayakan. Proses pemberdayaan melibatkan kedua belah pihak, antara masyarakat yang aka diberdayakan dengan pihak yang melakukan pemberdayaan. Proses tersebut memerlukan pendampingan yang terus menerus. Sehingga dapat mengukur suatu keberdayaan masyarakat atau unit usaha.
2.1.4.4. Pemberdayaan Dalam Bidang Ekonomi
Salah satu bidang ekonomi yang sering mendapat perhatian dalam pemberdayaan  ekonomi adalah Usaha kecil dan menegah, peningkatan perhatian pemerintah, kalangan swasta, dan akademisi  terhadap kondisi usaha kecil menengah di indonsesia  tidak terlepas dari fenomena  krisis ekonomi yang melanda indonesia sejak tahun 1997 sampai saat ini  pihak pihak tersebut menyatakan bahwa ekomoni informal yang didalamnya termasuk usaha kecil dan menengah  justeru menjadi penyelamat ekonomi Indonesia pasca keruntuhan ekonomi konglomerasi era orde baru. Oleh karena itu pemberdayana ekonomi, khususnya usaha kecil dan menengah  perlu mendapat pemehaman yang utuh secara konsepsional. Para ahli ekonomi telah ada yang memberikan definisi pemberdayaan  dalam pengefektifan ekonomi, sebagai berikut: pemberdayaan menurut Prawirokusumoh (2001:91) adalah: “Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam bentuk, Penumbuhan iklim usaha yang kondusif dan Pembinaan dan pengembangan yang didalamnya berupa bimbingan dan bantuan perkuatan”
2.1.4.5. Ketidak berdayaan Masyarakat
Kelompok yang memiliki ketidakberdayaan, baik kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri) maupun kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur social yang tidak adil). Senner dan Cabb (1972) dan Conway (1979) (dalam Suharto, 2004 : 61) menyatakan bahwa “ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politi, ketiadan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan financial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional”.
Menurut Kieffer (dalam Suharto, 2004 : 63) bahwa “pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif”. Sedangkan kriteria masyarakat yang bardaya menurut Suhendra (2006 : 86) adalah :
1)   Mempunyai kemampuan menyiapkan dan menggunakan pranata dan    sumber-sumber yang ada di masyarakat
2)   Dapat berjalannya “botton up planning”
3)   Kemampuan dan aktivitas ekonomi
4)   Kemampuan menyiapkan hari depan keluarga
5)   Kemampuan menyampaikan pendapat dan aspirasi tanpa adanya tekanan.
Masyarakat yang tidak berdaya kurang memiliki atau kurang mampu memiliki kriteria diatas. Dalam hal ini sangat dibutuhkan peran pemerintah untuk melakukan pemberdayaan terus menerus dan berkelanjutan. Karena masyarakat berdaya aka mampu dan kuat untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan, mampu mengawasi jalannya pembangunan sehingga pembangunan akan semakon berkembang dan akhirnya masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan.
2.1.5. Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal (Warteg)
2.1.5.1. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah
Menurut Undang-Undang No 20 tahun 2008, Usaha Kecil dan Menengah  adalah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,yang dilakukan oleh orang-perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagai mana di atur dalam Undang-Undang ini. kriteria UKM menurut Undang-Undang  Rebublik Indonesia No 20 tahun 2008, tantang Usaha Kecil dan Menengah adalah :
Table 2.1 Kriteria Usaha Kecil dan Menengah menurut
 Undang-Undang No. 20 Tahun 2008
Besar Usaha
Kriteria
Mikro
- Kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000 tidak termasuk tanah dan bagunan
-Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000
Kecil
- Kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 tidak termasuk tanah dan bagunan tempat usaha; atau
-  Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000
Menengah
-  Kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bagunan temapat usaha ; atau
-  Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000
  Sumber : UU RI No 20 Tahun 2008

Menurut Hafsah (1999:11) usaha kecil dan menengah adalah: “kegiatan ekonomi yang memiliki hasil bersih atau hasil penjualan lebih besar dari hasil bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil”.
Sedangkan menurut Susana Suprapti (2005: 48), UKM (Usaha Kecil Menengah) adalah “Badan usaha baik perorangan atau badan hukum yang memiliki kekayaan bersih (tidak termasuk tanah dan bangunan) sebanyak 200 juta dan mempunyai omset/nilai output atau hasil penjualan rata-rata pertahun sebanyak Rp 1 Milyar dan berdiri sendiri”.
Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat”.
Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah “Entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000.
Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan”.
Berdasarkan Keputuasan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa).
Pengertian UKM (Usaha Kecil Menengah) menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/1/UKK Tanggal 29 Mei 1993 adalah :
  1. Usaha Kecil adalah yang memiliki total aset maksimum Rp 600 Juta, tidak termasuk tanah dan rumah yang ditempati.
  2. Usaha menengah adalah usaha ekonomi yang dikembangkan dengan perhitungan aset (di luar tanah dan bangunan) mulai dari 200 juta sampai kurang dari 600 juta dengan jumlah tenaga kerja mulai 20 orang sampai dengan 99 orang.

Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kunatitas tenaga kerja.” Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang”.
Table 2.2 Kriteria Usaha Kecil Dan Menengah menurut Berbagi versi
Organisasi
Jenis Usaha
Keterangan Kriteria
Badan puast stastistik
Mikro
Kecil
Menengah
- Kurang dari 5 pekerja, termasuk termasuk tenaga keluarga  yang tidak di bayar.
- Antara 5-19
- Antara 20-99
Bank dunia
Mikro
Kecil
Menengah
- Kurang dari 20 pekerja.
- Antara 20-150 pekerja.
- Asset kurang dari US$ 500 ribu (diluar tanah dan bagunan )
Dekop PKM
Kecil Menengah
Omset sekitar US$ 25 ribu-1 Juta
Bank Indonesia
Kecil
Asset kurang dari US$ 300 ribu (di luar tanah dan bagunan )
Depperindag (UU No 9 Th 1999)
Menengah besar
Kecil
- Asset lebih dari US$ 300 ribu.
- Asset kurang dari US$ 100 ribu diluar tanah dan bagunan; omset tahunaan US$ 500;dimiliki orang Indonesia independent tidak berfafilisasi dengan usaha  menengah besar, tidak perlu badan hukum.
         Sumber: Rachbini dan Arifin(1999)

Dengan demikian, usaha kecil dan menengah adalah usaha yang didirikan oleh masyarakat dengan sekala yang kecil namun dapat memberdayakan masyarakat dengan mengurangi jumlah penganguran dan meningkatkan pendapatan asli daerah yang masih belum di ketahui potensinya, dan dan untuk memperkokoh laju perekonomian nasioanal maupun daerah. Uasaha kecil dan menengah adalah usaha yang diminati oleh masyarakat dari semua lapisan, mulai dari lapisan bawah maupun lapisan atas, sehingga usaha kecil tidak tergantung pada suatu tingkatan masyarakat saja.
2.1.5.2. Pengertian Warung Tegal (Warteg)
Menurut ketua Kowarteg Sastoro Warung Tegal adalah:”salah satu jenis usaha gastronomi atau tata boga  yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Biasa juga disingkat Warteg, nama ini seolah sudah menjadi istilah untuk warung makan kelas menengah ke bawah di pinggir jalan, baik yang berada di kota Tegal maupun di tempat lain, baik yang dikelola oleh orang asal Tegal maupun dari daerah lain di sekitar perbatasan kota tegal”.
Sedangkan pengertian Kata gastronomi berasal dari Bahasa Yunani kuno gastros yang artinya"lambung" atau "perut" dan nomos yang artinya "hukum" atau "aturan" Gastronomi atau tata boga adalah: “seni atau ilmu akan makanan yang baik (good eating)”. Penjelasan yang lebih singkat menyebutkan gastronomi sebagai segala sesutu yang berhubungan dengan kenikmatan dari makan dan minuman. Sumber lain menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya (seni kuliner).
Gastronomi meliputi studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman. Selain itu, gastronomi juga mencakup pengetahuan mendetail mengenai makanan dan minuman nasional dari berbagai negara besar di seluruh dunia. Peran gastronomi adalah sebagai landasan untuk memahami bagaimana makanan dan minuman digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Melalui gastronomi dimungkinkan untuk membangun sebuah gambaran dari persamaan atau perbedaan pendekatan atau perilaku terhadap makanan dan minuman yang digunakan di berbagai negara dan budaya.
Warung tegal pada awalnya banyak dikelola oleh masyarakat dari tiga desa di Tegal yaitu warga desa Sidapurna, Sidakaton & Krandon, Kecamatan Margadana Kota Tegal. Mereka mengelola warung tegal secara bergiliran (antar keluarga dalam satu ikatan famili) setiap 3 sampai dengan 4 bulan. Yang tidak mendapat giliran mengelola warung biasanya bertani di kampung halamannya. Pengelola warung tegal di Jakarta yang asli orang Tegal biasanya tergabung dalam Koperasi Warung Tegal, yang populer dengan singkatan Kowarteg. Kowarteg hingga saat ini masih kediketuai oleh Sastoro. Hidangan-hidangan di warteg pada umumnya bersifat sederhana dan tidak memerlukan peralatan dapur yang sangat lengkap. Nasi goreng dan Mi instan hampir selalu dapat ditemui. Beberapa warung tegal khusus menghidangkan beberapa jenis makanan, seperti sate tegal, gulai dan minuman khas Tegal teh poci.
Yang unik dari bisnis Warteg ini, meski melayani masyarakat menengah ke bawah, hasil yang didapatkan cukup besar. Hal ini terbukti dari tingkat ekonomi para pengusaha Warteg yang cukup membanggakan. Di Kelurahan, Sidapurna, Sidakaton, dan Krandon kita tidak perlu heran menyaksikan rumah-rumah mewah dibangun di sana. Rumah-rumah itu kebanyakan milik para pengusaha Warteg yang membuka usaha di Jakarta.
2.1.6 Keterkaitan Implementasi Kebijakan dengan Efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil, Dan Menengah Warung Tegal (Warteg)
Keberhasilan suatu kebijakan ditentukan atau dipengaruhi pula oleh kebijakan itu sendiri. suatu kebijakan dalam implementasinya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap, objek kebijakan atau sasaran kebijaka .sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Menurut George Edward III (dalam Winarno, 2002 : 125)
1.         Komunikasi memegang peranan penting dalam proses implementasi kebijakan yang efektif Komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana kebijakan.
2.         Sumberdaya dapat merupakan faktor yang penting untuk meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperklukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
3.         Sikap para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.
4.         Struktur birokrasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh penting ada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (Standard Operating Prosedure, SOP).Dengan menggunakan SOP para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan fragmentasi organisasi adalah struktur organisasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan.
Misal dalam hal ini kebijakan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal memiliki keterkitan dengan. Efektivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) yang dicapai, semakin besar target yang dicapai maka semakin tinggi efektivitasnya.
            Mengacu pada penjelasan tersebut diatas, maka kaitan Efektivitas pemberdayaan sangat ditentukan pada perumusan  isi kebijakan dan imlementasinya dan proses evaluasinya. Tahapan-tahapan kebijakan tersebut mempunyai hubungan yang saling mepengaruhi Masing-masing faktor dalam impementasi kebijakan akam mempengaruhi efektiv tidaknya pemberdayaan yang dilakukan kepada Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal.
2.2. Kerangka Pemikiran
Secara etimologisnya kata kebijakan dan kebijaksanaan berasal dari kata yang sama “bijak”, dalam penggunaannya, kata kebijakan dan kebijaksanaan mempunyai makna yang berbeda. Pengertian kebijakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989 : 115), menyebutkan tentang pengertian kebijakan adalah sebagai berikut : “Kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep atas hal yang menjadi garis besar rencana dalam dan pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak”.
Kebijakan adalah suatu aktifitas dari individu atau sekelompok individu dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Beberapa pakar seperti Laswell dan Kaplan (dalam Islamy, 2002:5) mengidentifikasikan kebijakan sebagai “A projected programs of goals, values and  practices”. Definisi ini mengacu kepada kebijakan sebagai program.
Dalam kenyataan, kata kebijakan sering digunakan dan dipertukarkan maknanya dengan tujuan, program, keputusan, hukum, proposal, patokan dan maksud besar tertentu. Di dalam percakapan sehari-hari antara para pembuat keputusan dan rekan-rekannya pergantian makna semacam ini bukanlah masalah, biasanya dalam hubungan atau kaitan teknis atau administratif tertentu kata ini mempunyai acuan khusus yang hanya dimengerti oleh kelompok tertentu.
Beberapa pengertian kebijakan dan kebijaksanaan menurut para ahli, sebagai berikut :
1.      Tachjan (2006 : 19) menjelaskan bahwa : “Kebijakan itu sendiri adalah keputusan atas sejumlah atau serangkaian pilihan yang berhubungan satu sama lain yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan”.
2.      Carl j. Friedrich (dalam Agustino, 2006 : 7) kebijakan adalah : “Serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam sustu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) serta kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dan dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna untuk mencapai tujuan”.
3.      James Anderson (dalam Islamy, 2001 : 17) : “Kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan yang mempuntai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan ole seorang pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu”.
Sedangkan menurut Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (dalam Wahab 1990 : 71) untuk dapat melaksanakan kebijakan Negara secara sempurna (perfect Implementation) diperlukan beberapa syarat yang dikenal dengan “The Top Down Approach” meliputi :
  1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.
  2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
  3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
  4. Kebijaksanaan yang diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal
  5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubung
  6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil
  7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
  8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
  9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
  10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Mirelle S. Grindle (dalam Nugroho 2003 : 53) yang pada pemetaan kita beri label “GR” yang terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan lebih berada di “mekanisme paksa” dan pada “mekanisme pasar”. Model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat Implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup :
  1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan Berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaanya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya.
  2. Jenis manfaat yang akan dihasillkan Menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
  3. Derajat perubahan yang diinginkan Seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
  4. Kedudukan pembuat kebijakan Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang diimplementasikan.
  5. Siapa pelaksana program Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus di dukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang terarah demi keberhasilan suatu kebijakan.
  6. Sumber daya yang dikerahkan Pelaksana suatu kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.

            Sementara itu Konteks implementasinya adalah :
1.      Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat Dalam pelaksanaan kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para actor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksana suatu implementasi kebijakan.
2.      Karakteristik lembaga dan penguasa Karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
3.      Kepatuhan dan daya tanggap Sejauh mana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau konten dan lingkungan-lingkungan konteks diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui apakah suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang terjadi.
Berkaitan dengan kredit usaha rakyat terhadap Pemberdayaan Usaha kecil menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal tersebut teraplikasi sebagai berikut : berhasil atau tidaknya dalam rangka pencapaian tujuan memerlukan tindakan lebih lanjut yaitu implementasi kebijakan.
Menurut George Edward III (dalam Winarno, 2007 : 174) mengemukakan bahwa dalam implementasi kebijakan diperlukan variabel-variabel pelaksanaan yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu :
  1. Komunikasi memegang peranan penting dalam proses kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melakasanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi inipun cenderung tidak efektif.
  2. Sumber-sumber dapat merupakan faktor yang penting untuk meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperklukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
  3. Kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.
  4. Struktur birokrasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh penting ada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek structural paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (Standard Operating Prosedure, SOP). Prosedur-prosedur biasa ini dalam menanggulangi keadaan-keadaan umum digunakan dalam organisasi-organisasi public dan swasta. Dengan menggunakan SOP para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan fragmentasi organisasi adalah struktur organisasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan.

Salah satu tantangan adalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah faktor pemberdayaan, Menurut Suhendra (2006 :6) Suatu  kegiatan yang berkesinambungan, dinamis, secara sinergis mendorong keterlibatan semua potensi yang ada secara evaluatif dengan keterlibatan semua potensi. dengan cara ini akan memungkinkan  terbentuknya masyarakat madani yang majemuk, penuh keseimbengan kewajiban dan hak, saling menghormati tampa ada yang terasa asing dalam komunitasnya.
Sedangkan menurut Suharto (2005 :57) Pemberdayaan adalah : Pemberdayaan atau pemerkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’(kekuasaan atau keberdayaan), karenanya ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan ,terlepas dari keinginan dan minat mereka.
            Dari pendapat tersebut peneliti menarik kesimpulan bahwa pemberdayaan merujuk pada pengertian perluasan kebebasan memilih bertindak. Bagi masyarakat khususnya masyarakat pedagang kecil dan menengah kebebasan ini sangat terbatas karena ketidak mampuan dalam menyuarakan pendapat dan ketidak perdayaan ketika berhadapan dengan Negara (dalam hal pemerintah) maupun dengan sistem ekonomi pasar yang ada saat ini karena itu pemberdayaan masyatakat lebih ditekankan kepada : pertama meningkatkan kemampuan individu dalam berinofasi, dan kemampuan permodalan
Unsur-unsur pemberdayaan  menurut Suhendra (2006: 86-87) Meliputi:
  1. Kemampuan politik yang mendukung;
  2. Suasana kondusif untuk mengembangkan potensi secara menyeluruh;
  3. Motivasi
  4. Potensi masyarakat
  5. Kerelaan mengalihkan wewenag
  6. Peluang yang tersedia
  7. Perlindungan; dan
  8. Awarnees

Adapun indikator masyarakat berdaya menurut Suhendra (2006:86) adalah
  1. Memiliki kemampuan menyiapkan dan mengunakan prenata, sumber-sumber yang ada di masyarakat
  2. Dapat berjalannya”bottom up planning”
  3. Kemampauan dan aktivitas ekonomi             
  4. Kemampuan menyiapkan hari depan keluarga
  5. Kemampuan menyampaikan pendapat dan aspirasi tampa adanya tekanan

Adapun tujuan pemberdayaan menurut Prawirokusumoh (2001:17) adalah: “memberikan manfaat jangka panjang bagi kepentingan ekonomi secara keseluruhan masyarakat”berdasarkan pendapat tersebut terlihat jelas bahwa tujuan pemberdayaan bukan hanya untuk kelompok masyarakat tertentu, tetepi untuk keseluruhan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemandirian masyarakat dengan tujuan melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan.
Upaya pemberdayaan masyarakat dalam program revitalisasi yang meliputi perbaikan infrastruktur dan peningkatan manajerial dan juga pelatihan untuk memperkuat kemampuan masyarakat sebagai pelaku utama (subjek) dan penerima manfaat (objek) pemberdayaan, dengan di dampingi fasilitator dari pemerintah dalam hal ini Dinas terkait dan pihak bank pelaksana KUR (pihak konsultan). Yang menjadi tolak ukur efektivitas pemberdayaan.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa, pemerintah memang telah mengupayakan Pemberdayaan UKM pada umumnya dan UKM  Warung Tegal pada khususnya melalui kebijakan Kredit Usaha Rakyat. Hanya saja belum ada keseriusan pemerintah dalam mengoptimalkan pengambangan Usaha kecil menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal. Namun keberhasilan dari program tersebut harus juga melibatkan dukungan dari semua pihak, tidak hanya pemerintah saja, akan tetapi dari seluruh lapisan masyarakat. Apabila hanya mengandalkan pemerintah saja, maka keberhasilan program ini tidak akan tercapai seperti yang telah direncanakan.
2.2.1. Paradigma Penelitian
            Paradi
an paradigma tersealam pelaksanaan kebijakan tentang pengembangan usaha kecil menengah, kelengkapan informasi yang diterima masih belum jelas tentang Program Kredit usaha rakyat terhadap pemberdayaan UKM warung tegal di Kecamatan margadana Kota Tegal
plementasi kebijakan tentang program kredit Usaha rakyat terhadap pemberdayaan UKM warung tegal di Kecamatan margadana Kota Tegal. dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya program Kredit Usaha Rakyat  pemberdayaan pegusaha warung tegal di Kecamatan margadana Kota Tegal harus lebih ditingkatkan kembali mengingat bahwa UKM Warteg sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar untuk berkembang. Sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi masyarakat kota tegal pada umumnya dan  para penusaha warteg pada umumnya  dan dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah kota Tegal. Dari uraian tersebut peneliti berpendapat sebagai berikut :

  1. Kebijakan merupakan serangkaian tindakan tertentu dan dilaksanakan dalam urutan waktu tertentu berdasarkan implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat terhadap efektivitas pemberdayaan UKM Warteg di  Kecamatan Margadana Kota Tegal.
  2. Implementasi kebijakan Pemerintah  berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : Komunikasi, Sumberdaya, Sikap pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi.
  3. Pemberdayaan merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuatitas, kualitas, dan waktu) yang dicapai, sehingga semakin besar target yang dicapai maka semakin tinggi efektivitasnya.
  4. Implementasi kebijakan Pemerintah berdasarkan faktor-faktor yang akan mempengaruhi efektivitas pemberdayaan.
2.2.2. Hipotesis
Menurut Arikunto (2006:71) bahwa hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dalam  penelitan  ini peneliti  mengajukan  hipotesis kerja sebagai berikut: implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat terhadap efektivitas pemberdayaan UKM Warteg di Kecamatan Margadana Kota Tegal.
Adapun hipotesis statistik yang digunakan adalah sebagai berikut:
, tidak ada pengaruh implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat terhadap efektivitas pemberdayaan UKM Warteg di Kecamatan Margadana Kota Tegal.
 ada pengaruh implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat terhadap efektivitas pemberdayaan UKM Warteg di Kecamatan Margadana Kota Tegal.
2.2.3. Definisi Operasional
Konsep-konsep sosial yang sudah diterjemahkan menjadi satuan yang lebih operasional yakni : variabel dan konstruk, biasanya belum sepenuhnya siap untuk diukur. Hal ini demikian karena variabel dan konstrak sosial mempunyai beberapa dimensi yang dapat diukur secara berbeda. Menurut Singarimbun (1995 : 46-47) “definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel”. Dengan kata lain, definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Berdasarkan informasi tersebut dia akan mengetahui bagaimana caranya pengukuran atas variabel itu dilakukan, dengan demikian dia dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan atau diperlukan prosedur pengukuran yang baru.
Variabel dalam penelitian ini adalah Implementasi Kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat dan efektivitas pemberdayaan UKM Warteg Kecamatan Margadana Kota Tegal.
Variabel bebas : implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit usaha rakyat. dengan dimensi faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu :
  1. Komunikasi, indikatornya :
1)      Adanya pemahaman Aparat Dinas Perindagkop dan petugas bank pelaksana terhadap isi kebijakan
2)      Adanya sosialisasi kebijakan Pemerintah kepada masyarakat pengusaha Warteg.
  1. Sumberdaya, indikatornya :
1)      Tersedianya sumber daya manusia dalam hal kemampuan dan keterampilan.
2)      Adanya fasilitas-fasilitas yang menunjang program operasional kebijakan.
  1. Sikap pelaksanaan kebijakan, indikatornya:
1)      Adanya dukungan dari pelaksana kebijakan terhadap pencapaian sasaran.
2)      Kecakapan dari pelaksana kebijakan dalam menyampaikan isi kebijakan Kredit Usaha Rakyat kepada pengusaha Warteg.
d.      Struktur Birokrasi, indikatornya:
1)      Adanya kejelasan tugas dan fungsi pelaksana kebijakan.
2)      Kejelasan prosedur kerja berdasarkan Standard Operating Procedures (SOP).
Variabel terikat : Efektivitas Pemberdayaan UKM Warteg di Kecamatan Margadana Kota Tegal dengan dimensi sebagai berikut :
1)      Kualitas, indikatornya :
a.       Tanggung jawab aparat terhadap tugas pelaksanaan pemberdayaan
b.      Koordinasi dengan instansi lain yang berkompenten di bidang pemberdayaan
c.       Kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan pemberdayaan
2)      Kuantitas, indikatornya :
a.       Jumlah aparat yang tersedia untuk mengelola pelaksanaan pemberdayaan
b.      Jumlah masyarakat yang mengikuti program pelaksanaan pemberdayaan
c.       Jumlah perlengkapan atau alat yang tersedia untuk pelaksanaan pemberdayaan
3)      Waktu, indikatornya :
a.       Sesuai alokasi waktu yang dipergunakan untuk melaksanakan pemberdayaan
b.      Sesuai jadwal waktu kegiatan pemberdayaan masyarakat.




BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan sasaran untuk mendapatkan suatu data. Sesuai dengan pendapat Sugiyono (2008:13) mendefinisikan objek penelitian adalah sebagai berikut:“Objek penelitian adalah sasaran ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu tentang sesuatu hal objektif, valid dan reliable  tentang suatu hal (variabel tertentu).”
Definisi objek penelitian menurut I Made Wirartha (2006:39) menyatakan bahwa: “Objek Penelitian (variabel penelitian) adalah karakteristik tertentu yang mempunyai nilai, skor atau ukuran yang berbeda untuk unit atau  individu yang berbeda atau merupakan konsep yang diberi lebih dari satu nilai.”
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa objek penelitian adalah suatu sasaran ilmiah dengan tujuan dan kegunaan tertentu untuk mendapatkan data tertentu yang mempunyai nilai, skor atau ukuran yang berbeda. Objek penelitian merupakan sasaran dengan tujuan dan kegunaan untuk mendapatkan data tertentu. Objek penelitian dalam skripsi ini adalah Pengaruh Implementasi Kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat (variable X) Efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil Dan Menengah Warung Tegal (variable Y).
3.1.1. Populasi
Pengertian populasi menurut Nawawi (1990:161) bahwa : “Populasi adalah keseluruhan obyek-obyek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian”.
Populasi dalam penelitian ini adalah aparat Dinas Perindustrian perdagangan dan koprasi Kota Tegal, Petugas Bank pelaksana dan mayarakat pengusaha Warteg  di Kecamatan Margadana Kota  Tegal. Untuk lebih jelasnya dapat peneliti rinci sebagai berikut :
  1. Aparat Dinas Perindagkop Kota Tegal           : 10 orang (N1)
  2. Petugas Pelaksana Bank BRI Kota Tegal       : 12 orang (N2)
  3. Pengusaha Warung Tegal                                : 440 orang (N3)
Jumlah                                                             : 462 orang ( N)
Dengan demikian, jumlah populasi yang diperoleh adalah sebesar 462 orang.
3.1.2. Sampel
Teknik pengumpulan sampel yang peneliti gunakan adalah Stratified Random Sampling. Menurut Nazir (2005 : 277) adalah populasi dibagi dalam kelompok yang homogen lebih dahulu, atau dalam strata. Anggota sampel ditarik dari setiap strata. Jika tidak semua strata ditarik sampelnya, maka ia menjadi multiple stage sampling.
Kemudian dalam menentukan ukuran sampel (n) dari jumlah populasi (N) yang telah ditetapkan, peneliti menggunakan rumusan Taro Yamane atau Slovin (dalam Riduwan dan Akdon,2006:249) dengan rumus:
                       
Keterangan :
n     = jumlah sampel.
N    = jumlah populasi
 = Presisi yang ditetapkan (tingkat kesalahan pengambilan sampel, dalam hal ini ditetapkan sebesar 10%)
Adapun perincian perhitungan sampel sebagai berikut :
1.      Aparat Dinas Perindagkop Kota Tegal           :  Orang
2.      Petugas Pelaksana Bank BRI Kota Tegal       : Orang
3.      Pengusaha Warung Tegal                                : Orang
Jadi Ukuran sampel penelitian ini adalah :
1.      Aparat Dinas Perindagkop Kota Tegal           : 2 Orang ( )
2.      Petugas Pelaksana Bank BRI Kota Tegal       : 2 Orang ( )
3.      Pengusaha Warung Tegal                                : 78 Orang ( )
Jadi jumlah sempel adalah                              : 82 Orang ( n)
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian eksplanatif (penjelasan). Menurut Prasetyo (2006:43) penelitian eksplanatif dilakukan untuk menemukan penjelasan tentang suatu kejadian atau gejala yang terjadi. Hasil akhir penelitian ini adalah gambaran mengenai hubungan sebab akibat.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif Menurut Sugiyono (2007:8) metode kuantitatif dapat diartikan sebagai ”metode penelitian ini berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
3.2.2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi :
  1. Pedoman angket atau daftar pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada responden dan bersifat tertutup yaitu responden tinggal memilih jawaban yang sudah disediakan oleh peneliti dalam bentuk pilihan ganda.
  2. Pedoman wawancara yaitu daftar pertanyaan yang digunakan dalam bertanya jawab dengan Kepala Dinas Perindagkop Kota Tegal dan Petugas Bank Pelaksana Penyaluran Kredit Usaha Rakyat,serta Pengusaha Warteg.
            1. Pedoman observasi yaitu pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian.
  3. Alat dokumentasi, dengan menggunakan alat dokumentasi berupa kamera dan tape recorder.
3.2.3. Teknik Pengumpulan Data
            Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah :
  1. Studi pustaka, yaitu peneliti mengumpulkan data dengan mempelajari literatur maupun teori-teori yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.
  2. Studi lapangan, yaitu peneliti mengumpulkan data dengan melihat secara langsung terhadap objek yang diteliti melalui :
  1. Angket, yaitu pengumpulan data dengan membagikan angket quesioner kepada responden.
  2. Wawancara, dilakukan terhadap Kepala Dinas Perindagkop, dan Petugas Bank Pelaksana Penyaluran Kredit Usaha Rakyat serta beberapa responden yang diperlukan dalam mendukung angket penelitian.
  3. Observasi, yaitu pengamatan terhadap objek yang dilihat secara nyata di lokasi penelitian.
3.2.4.   Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh dalam hasil penelitian selanjutnya dianalisa dengan menggunakan teknik analisis statistik deskriptif, seperti dikemukakan Sugiyono (2002:112) yaitu :
Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Termasuk dalam statistic deskriptif antara lain adalah penyajian data melalui table, grafik, diagram lingkaran, perhitungan modus, perhitungan desil, perhitungan penyebaran data melalui perhitungan rata-rata dan standar deviasi, perhitungan persentase.

Dengan demikian, analisis data merupakan kegiatan yang dilakukan peneliti dalam mengungkapkan makna dari data yang telah diperoleh dari proses penelitian yang telah dilakukan serta digambarkan secara kuantitatif.
Dalam kegiatan ini peneliti memberikan skor pada setiap alternatiif jawaban dari daftar pertanyaan angket yang diajukan kepada responden sesuai dengan bobot yang telah ditetapkan, yaitu bobot nilai berdasarkan Sudjana (1989:113) yang menyatakan sebagai berikut :
“1. Alternatif jawaban (a) diberi nilai atau skor 3.
 2. Alternatif jawaban (b) diberi nilai atau skor 2.
 3. Alternatif jawaban (c) diberi nilai atau skor 1.”
Terlihat adanya variable bobot atau nilai skor jawaban yang bergerak antara 1 sampai 3 dengan panjang n kelas interval yaitu :
 
Tingkat kategori jawaban yang diperoleh dari responden disesuaikan dengan ukuran penilaian yaitu :
a.       2.34 – 3.00 termasuk kategori “Baik
b.      1.67 – 2.33 termasuk kategori “Cukup
c.       1.00 – 1.66 termasuk kategori “Kurang
Berdasarkan hasil penilaian dari variabel bebas dan variabel terikat maka analisis variabel menggunakan rumus statistik yaitu rumus rata-rata (Sudjana,1989:67) sebagai berikut :
Keterengan :
x = menyatakan  rata-rata hitung
xi = menyatakan nilai jawaban
fi = menyatakan frekuensi untuk nilai xi yang bersesuaian.
Σ = menyatakan jumlah beruntu
Untuk mengetahui seberapa besar derajat hubungan antara pelaksanaan  penyaluran Kredit Usaha Rakyat di Kecamatan Margadana Kota Tegal (variable bebas) dengan Efektivitas pemberdayaan UKM Warteg (variable terikat) digunakan teknik Korelasi Product Moment, seperti dikemukakan oleh Sugiyono (2002:148),  yaitu :


Keterangan :
r          = menyatakan koefisien korelasi.
x          = menyatakan nilai variable x.
y          = menyatakan nilai variable y.
           = menyatakan jumlah.
Pedoman yang digunakan untuk mengetahui tingkatan seberapa kuat pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat tersebut maka peneliti menggunakan pedoman pada table berikut ini :
Table 3.1.
Pedoman Untuk Memberikan Interprestasi Koefisien Korelasi
No.
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
1.
0.00 – 0.199
Sangat Rendah
2.
0.20 – 0.399
Rendah
3.
0.40 – 0.599
Sedang
4.
0.60 – 0.799
Kuat
5.
0.80 – 1.000
Sangat Kuat
Sumber : Sugiyono (2002:149)
      Selanjutnya untuk menyatakan besar kecilnya sumbangan variabel bebas terhadap variable terikat dapat ditentukan dengan rumus koefisien diterminan, seperti dikemukakan oleh Riduwan dan Akdon (2006:125) yaitu :
Keterangan :
KD = Nilai Koefisien Diterminan
r     = Nilai Koefisien Korelasi
            Kegiatan selanjutnya adalah uji signifikasi pengaruh yaitu apakah yang ditentukan berlaku untuk seluruh populasi. Rumus uji signifikasi Korelasi Product Moment menurut Sugiyono (2002:150) yaitu :
Keterangan :
t  = t hitung (Test  signifikasi)
r  = Nilai Koefisien Korelasi
n = Jumlah Sampel
            Nilai t hitung tersebut dibandingkan dengan nilai dari table distribusi (Tabel t) dan menggunakan derajat kebebasan (dk) sebesar n -2.
            Analisis korelasi yang diperoleh adalah :
  1. Jika t hitung t table maka Ho diterima, artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara pelaksanaan Kebijakan Kredit Usaha Rakyat terhadap Efektivitas pemberdayaan UKM Warteg di Kecamatan Mrgadana Kota Tegal.
  2. Jika t hitung > t table maka Ho ditolak, artinya ada pengaruh pelaksanaan Kebijakan Kredit Usaha Rakyat terhadap Efektivitas pemberdayaan UKM Warteg di Kecamatan Mrgadana Kota Tegal.
3.2.5.                  Rencana pengujian keabsahan data
Keabsahan data adalah kegiatan yang dilakukan agar hasil penelitian dapat dipertanggung jawabkan dari segala sisi. Keabsahan data dalam penelitian ini  meliputi uji validitas internal (credibility), validitas eksternal (transferability), reliabilitas (dependentbility), dan obyektivitas (confirmability). Hal ini sesuai pendapat Sugiyono (2009:366) yang menyatakan bahwa uji keabsahan data pada penelitian kualitatif meliputi uji validitas internal (credibility), validitas eksternal (transferability), reliabilitas (dependentbility), dan obyektivitas (confirmability).
1.      Uji validitas internal (credibility)
            Uji validitas internal dilaksanakan untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Kriteria ini berfungsi melakukan inquiry sedemikian rupa sehingga kepercayaan penemuannya dapat dicapai.
Menurut Sugiyono (2009:368-375) Untuk hasil penelitian yang kredibel, terdapat tujuh teknik yang diajukan yaitu. a. Perpanjangan pengamatan, b. Meningkatkan ketekunan, c Triangulasi, d.  Diskusi dengan teman, e. Analisis kasus negative, f. Menggunakan bahan referensi, g. Mengadakan member check
2.      Reliabilitas (dependability).
   Reliabilitas Berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan,suatu data dikatakan reabel bila di teliti oleh peneliti yang berbeda diperoleh data yang sama. Begitu juga bila dilakukan dalam waktu yang tidaksama didapatkan data yang sama,tentunya berkenaan dengan sempel yang sama. Uji reliabilitas dilaksanakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek apakah si peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, pengumpulan data, dan pengintepretasiannya.
3.      Obyektivitas (confirmability)
Obyektivitas berkenaan dengan derajat kesepakatan antara banyak orang terhadap data.  Uji obyektivitas dilaksanakan dengan menganalisa apakah hasil penelitian disepakati banyak orang atau tidak.Penelitian dikatakan obyektif jika disepakati banyak orang. Data yang obyektif memiliki kecenderungan valid dan reliabel tetapi dalam penelitian kuantitatif belum tentu semua data yang objektif valid dan reliabel. ini berkenaan dengan manusia mahluk yang sangat komplek.
Dari penjelasan tersebut jelas kiranya dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid, reliabel dan obyektif, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel, dilakukan pada sampel yang mendekati jumlah populasi dan pengumpulan serta analisis data dilakukan dengan cara yang benar. Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel yang diuji validitas dan realibilitasnya adalah instrumen penelitiannya, sedangkan dalam penelitian kualitatif yang diuji adalah datanya.
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam kesempatan ini, peneliti memilih lokasi Penelitian di Kecamatan Margadana Kota Tegal. Kemudian kegiatan penelitian dilakukan selama enam bulan yaitu dimulai pada bulan Maret 2011 sampat dengan Agustus 2011., dengan rincian sebagai berikut:
  1. Studi pustaka pada bulan April  2011 sampai dengan bulan Mei 2011.
  2. Penelitian awal pada bula Juni 2011.
  3. Penyusunan usulan penelitian pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2011.
  4. Seminar usulan penelitian pada bulan16 Agustus 2011.
  5. Penelitian lapangan pada bulan Agustus 2011 sampai bulan September 2011.
  6. Pengolahan data dan penulisan laporan pada bulan Agustus 2011 sampai dengan September 2011.
  7. Pra sidang pada bulan Oktober 2011.
  8. Sidang Skripsi pada bulan November 2011.
Secara lebih rinci, kegiatan dan waktu penelitian dapat dikemukakan ke dalam bentuk tabel sebagai berikut dibawah :

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1  Hasil Penelitian
4.1.1. Gambaran  Umum Keadaan Objek Penelitian
4.1.1.1. Keadaan Geografis
Secara geografis wilayah kecamatan Margadana terletak diantara 06,51’ LS –06,52’ LS dan 109,09’ BT – 109,10’ BT. dengan luas wilayah 11.76 Km², dengan batas wilayah sebagai berikut :
1.                  Sebelah Utara        : Kecamatan Tegal Barat
2.                  Sebelah Timur       : Kecamatan Tegal Timur
3.                  Sebelah Selatan     : Kecamatan Tegal Selatan
4.                  Sebelah utara           : Kabupaten Brebes
Dilihat dari Relief daerah kecamatan Margadana termasuk wilayah dataran rendah dengan sruktur tanah, terdiri dari pasir dan tanah liat. Sementara temperatur udara rata-rata 27,3’C atau suhu tropis degan ciri pesisir pantai.
Secara Administratif Kecamatan Margadana termasuk dalam wilayah Kota Tegal yang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Tegah yang terletak pada pesisir utara pulau jawa, Kecamatan Margadana meliputi 7 Kelurahan Serta terdiri atas 34 RW dan 189 RT, berikut ini Nama dan luas kelurahan yang berada dalam wilayah Kecamatan Margadana.
Tabel 4.1 Nama  Kelurahan dan Luas wilayah

No.
Kelurahan
Luas (Km²)

1.
Kaligangsa
2,53


2.
Krandon
1,20

3.
Cabawan
1,28

4.
Margadana
2,41

5.
Kalinyamat Kulon
1,52

6.
Sumurpanggang
1,00

7.
Pesurungan Lor
1,82

8.
LUAS TOTAL
11.76
                         Sumber  : Kecamatan Margadana Tahun 2011
            Secara Demografis Keadaan penduduk kecamatan margadana yang tersebar di 7 Kelurahan masing-masing ada yang padat penduduknya adapula yang relative cukup padat, secara umum penyebaran penduduk dengan komposisi adalah sebagai berikut :
Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Menurut Jumlah Rumah Tangga Dan Jenis Kelamin
KELURAHAN
JUMLAH RUMAH TANGGA
PENDUDUK
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
Kaligangsa
2.914
5.470
5.327
10.797
Krandon
2.112
3.254
3.314
6.568
Cabawan
1.460
2.963
3.017
5.980
Margadana
5.048
6.536
6.254
12.790
Kalinyamat Kulon
1.631
2.713
2.818
5.531
Sumurpanggang
1.757
3.226
3.188
6.414
Pesurungan Lor
1.348
2.304
2.289
4.593
Jumlah
16.270
26.466
26.207
52.673
Sumber : Kecamatan Margadana Tahun 2011

Kepadatan penduduk rata - rata di kecamatan  Margadana  Kota Tegal pada tahun 2011 sebesar 4.479  jiwa/Km² dengan kepadatan penduduk tertinggi di kelurahan Sumurpanggang sebesar 641 jiwa/Km² dan kepadatan terendah di kelurahan Pesurungan Lor sebesar 253 jiwa/Km².
4.1.1.2.  Tugas Pokok dan Fungsi  Kecamatan Margadana Kota Tegal
Tugas Pokok :
Berdasrkan peraturan Daerah Kota Tegal Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata kerja kecamatan dan kelurahan di kota tegal dan peraturan walikota nomor 31 tahun 2008 tentang penjabaran tugas pokok dan fungsi.berdasarkan hal tersebut Kecamatan margadana mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pemerintahan, pembagunan dan sosial kemasyarakatan berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan dan tugas lain yang dilimpahkan oleh walikota.
Fungsi :
Untuk menyelengarakan tugas pokok tersebut kecamatan margadana memiliki fungsi sebagai berikut:
a.       Mengkoordinasikan Penyelengaraan Kegiatan Pemerintah.
b.      Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan Masyarakat.
c.       Mengkoordinasikan upaya penyelengaraan ketentraman dan ketertiban umum.
d.      Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan.
e.       Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
f.       Membina penyelengaraan pemerintah kelurahan.
g.      Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan atau yang belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah kelurahan
4.1.1.3. Visi Misi Kecamatan Margadana Kota Tegal
V i s i :
             “Mewujudkan Manajemen Pemerintahan Yang Efektif Melalui Kebersamaan Untuk Memberikan Pelayanan Terbaik Bagi Masyarakat”. Visi ini diharapkan mampu memberikan arah dan motivasi kepada aparatur dan segenap masyarakat Kecamatan Margadana dalam melaksanakan segala kegiatan. Makna dari visi tersebut adalah :
            Mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif. Kalimat tersebut mengandung arti bahwa kondisi yang diharapkan yaitu pembangunan, sosial kemasyarakatan dan jalannya roda pemerintahan di Kecamatan Margadana berjalan lebih baik. Melalui kebersamaan, mengandung arti bahwa metode yang digunakan dalam mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif adalah dengan kebersamaan baik intern maupun ekstern.
            Memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, mengandung arti bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dibidang pemerintahan, pembangunan dan social kemasyarakatan adalah pelayanan yang prima
M i s i :
            Dari visi yang sudah dijelaskan diatas maka makna yang terkandung didalamnya dapat dirumuskan bahwa Misi Kecamatan Margadana adalah sebagai berikut:
1.      Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan, pemerintahan dan social kemasyarakatan.
2.      Mendayagunakan potensi wilayah menuju konsep pembangunan secara menyeluruh.
3.      Meningkatkan kinerja aparat kecamatan dalam upaya meningkatkan pelayanan prima
4.1.1.4. Tujuan Sasaran  Kecamatan Margadana Kota Tegal

Tujuan :
            Tujuan yang ingin dicapai oleh Kecamatan Margadana pada tahun 2009 – 2014 adalah sebagai berikut:
1.      Tergalinya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan.
2.      Tergalinya potensi wilayah dalam usaha meningkatkan kompetensi.
3.      Terciptanya pelayanan prima yang baik bagi masyarakat
Sasaran :
1.      Meningkatnya peran serta / swadaya masyarakat.
2.      Terwujudnya peningkatan usaha ekonomi produktif di masyarakat dan terwujudnya lapangan usaha di wilayah Kecamatan Margadana.
3.      Tergalinya potensi wilayah menuju konsep pembangunan yang menyeluruh.
4.      Terwujudnya SDM aparatur Kecamatan yang handal dalam memberikan pelayanan ynag dibutuhkan masyarakat serta terwujudnya sarana dan prasarana yang memadai untuk memberikan pelayanan kepada masyarkat.

4.1.1.5. Gambaran Umum Dinas Perindusterian Perdaganagan Dan Koprasi Kota Tegal
Rencana strategis dari suatu institusi tidak terlepas dari aspek evaluasi kinerja periode sebelumnya. Hal ini merupakan tuntutan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Khususnya Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa evaluasi kinerja dijadikan bahan bagi penyusunan rencana Pembangunan Daerah untuk periode berikutnya. Dinas Perindusterian Perdaganagan Dan Koprasi Kota Tegal merupakan salah satu satuan kerja Perangkat Daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tegal Peraturan wali Kota Nomor 31 Tahun 2008 tentang Pembentukan dan Susunan Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintahan Kota Tegal. Hal tersebut terbentuk sehubungan adanya perubahan paradigma penyelenggaraan kewenangan bidang Pemerintahan yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi pada Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dengan tujuan demokratisasi, pemberdayaan aparatur serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
4.1.1.6. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Dinas Perindusterian, Perdagangan, dan koprasi  Kota Tegal
Visi :
Terwujudnya kesejahteraan masyarakat Kota Tegal melalui pengembangan koperasi usaha kecil menengah perindustrian dan perdagangan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan menuju Tegal yang cerdas.
Misi :
a.       Meningkatkan Kualitas Kelembagaan koperasi dan UKM.
b.      Meningkatkan Peranan Koperasi dan UKM yang Berdaya Saing.
c.       Meningkatkan Kualitas SDM Koperasi dan UKM.
d.      Menguatkan struktur industri dengan memberdayakan potensi industri kecil dan menengah yang berwawasan lingkungan.
e.       Mengembangkan lembaga dan sarana perdagangan serta sistem distribusi dalam negeri yang efektif dan efisien serta memberikan perlindungan konsumen dan produsen.
Tujuan :
1.      Meningkatkan pembinaan, pengembangan usaha koperasi, usaha kecil, dan menengah agar memiliki daya saing usaha dalam rangka meningkatkan perekonomian kota tegal.
2.      Membangun dan mengembangkan struktur industri dalam upaya menunjang pembangunan industri yang berwawasan lingkungan.
3.      Meningkatkan kegiatan informasi perdagangan barang dan jasa dalam negeri serta menciptakan tertib niaga dan pelaksanaan perlindungan konsumen dan produsen.
4.      Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mendorong serta mengembangkan hasil produksi melalui media promosi dan pameran dagang.
Sasaran :
a.       Meningkatkan lembaga koperasi yang aktif dan sehat.
b.      Meningkatkan kemampuan koperasi usaha kecil menengah dalam proses produksi, distribusi, dan pemasaran.
c.       Meningkatkan kemandirian dan daya saing koperasi, usaha kecil, dan menengah.
d.      Meningkatkan kemitraan antara koperasi, usaha kecil, dengan usaha menengah, dan besar.
e.       Terwujudnya struktur industri yang kuat dengan didukung oleh kerjasama antar sektor ekonomi lainnya.
f.       Meningkatkan kualitas pembinaan dan pelayanan terhadap pelaku dunia usaha dalam upaya meningkatkan kuatitas dan kualitas produk.
g.      Meningkatkan jumlah wirausaha baru dalam menunjang pertumbuhan ekonomi kota.
4.1.1.7. Gambaran Umum Bank BRI Unit Sumurpanggang
            Sejak 1 Agustus 1992 berdasarkan Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 1992 status BRI berubah menjadi perseroan terbatas. Kepemilikan BRI saat itu masih 100% di tangan Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menjual 30% saham bank ini, sehingga menjadi perusahaan publik dengan nama resmi PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, yang masih digunakan sampai dengan saat ini. Bank BRI Unit Sumurpang merupakan bagian dari Bank BRI cabang Kota Tegal, yang terletak di Kecamatan Margadana.
4.1.1.8.Visi, Misi, Tugas Pokok Dan Fungsi Bank BRI Unit Sumurpanggan Sebagai Bank Peksana Kredit Usaha Rakyat
Visi : Menjadi bank komersial terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah.
Misi :
  1. Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan mengutamakan pelayanan kepada usaha mikro, kecil dan menengah untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat.
  2. Memberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerja yang tersebar luas dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional dengan melaksanakan praktek good corporate governance.
  3. Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Tugas pokok : Menghimpun dan Maupun penyaluran dana Masyarakat dalam rangka kegiatan pembangunan perekonomian.
Fungsi : Memberikan Pelayanan, penawaran jasa-jasa perbankan yang lain kepada masyarakat seperti jasa pengiriman uang , jasa penitipan barang berharga di tingkat kecamatan.


4.1.1.9. Program Pemberdayaan UKM di Kecamatan Margadana
Berkaitan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan usaha kecil dan menengah melalui Pemerintah kecamatan membuat program yang, akan diuraikan berdasarkan urutan sebagai berikut :
  1. Pengembangan SDM atau Peningkatan profesionalisme UKM, dengan Pelatihan pengusaha UKM, dan Penyuluhan Dengan tujuan membantu UKM dalam mengatasi, keterbatasan akses informasi dan teknologi Meningkatkan penguasaan teknologi, dengan tujuan meningkatkan efisiensi, produktifitas dan daya saing UKM, agar UKM mampu melihat, menilai dan memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya dan cepat tanggap mengantisipasi setiap perubahan.
  2. Bantuan pendamping  usaha, Tugas utama pendamping ini adalah memfasilitasi proses Pelatihan Tataboga yang dilaksanakan melalaui gerakan Ibu-ibu PKK, yang bertujuan memberi pengetahuan teknik dan resep-resep baru dalam mengolah masakan dan menjadi mediator dalam mengakses bantuan modal.
  3. Membantu Peningkatan akses Pemasaran dan jaringan usaha dengan membentuk Paguyuban Warung Tegal pada setiap daerah atau kota yang menjadi lokasi usaha Warung Tegal, dengan tujuan agar UKM  Warung tegal mampu menguasai, mengelola dan mengembangkan pasar, degan berbagi informasi antar pengusaha.
  4. Peningkatan akses bantuan modal usaha, dengan tujuan memperkuat struktur permodalan UKM dan meningkatkan akses ke sumber-sumber pembiayaan, sebagai stumulan, tetapi harus dijamin adanya kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang masih lemah dan belum berkembang, dengan memfasilitasi pengusaha yang akan mengakses modal Kredit Usaha Rakyat di Bank, atau lembaga keuangan mikro lain seperti koprasi simpan pinjam. 
4.1.1.10 Gambaran Umum Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal
            Warung Tegal  (selanjutnya saya singkat Warteg) adalah salah satu jenis usaha gastronomi yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau, nama ini seolah sudah menjadi istilah yang umum untuk warung makan kelas menengah ke bawah di pinggir jalan, baik yang berada di kota Tegal maupun di tempat lain, baik yang dikelola oleh orang asal Tegal maupun dari daerah lain.
            Gastronomi atau tata boga adalah seni, atau ilmu akan makanan yang baik (good eating). Sumber lain menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya (seni kuliner). Hubungan budaya dan gastronomi terbentuk karena gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan.
            Dua ratus tahun yang lalu, kata gastronomi pertama kali muncul di zaman modern tepatnya di Perancis pada puisi yang dikarang oleh Jacques Berchoux (1804). Kendati popularitas kata tersebut semakin meningkat sejak saat itu, gastronomi masih sulit untuk didefinisikan. Kata gastronomi berasal dari Bahasa Yunani kuno gastros yang artinya"lambung" atau "perut" dan nomos yang artinya "hukum" atau "aturan".
            Warung Tegal  adalah salah satu tipe warung makan atau usaha gastronomi, tataboga yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, terutama melekat di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Harga yang murah dan penyajian yang sederhana merupakan ciri khas yang menjadi faktor utama mengapa warteg lebih melekat di kalangan masyarakat tersebut. Sepiring nasi penuh, sepotong daging ayam, dan kuah sayur, misalnya, dapat kita bayar hanya dengan harga Rp7000 Jika dibandingkan dengan restoran Padang, harga menu makan di warteg jauh lebih murah.
            Makanan yang disajikan di warteg didominasi oleh hidangan Jawa. Maklum saja, yang mempunyai usaha warteg adalah orang-orang Tegal yang merantau di kota-kota besar, terutama di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, Bandung; Semarang, Solo, dan beberapa daerah lain.
            Tegal sendiri adalah salah satu kota  di Jawa Tengah yang terletak di wilayah Pantura (Pantai Utara). Uniknya, di wilayah Tegal sendiri –menurut penuturan pengusaha warteg, sulit menemukan warteg. Hanya ada beberapa warung di jalan utama. Itu saja tidak sesemarak di luar daerah Tegal. Warteg cukup potensial di luar daerah. Pasalnya, warteg bisa tumbuh dan berkembang ketika berada di lingkungan atau di kawasan industri di kota-kota besar. Apakah mungkin di wilayah Tegal sendiri dibentuk sentra warteg? Kemungkinan itu tampaknya kecil. Hal ini disebabkan karena kebanyakan warga Tegal bukan pendatang. Jadi, kalaupun mendirikan usaha warteg, kemungkinan untuk laris sangatlah kecil.
            Meski demikian, tidak ada sumber yang pasti, bagaimana bermulanya usaha warteg ini di daerah-daerah yang saya sebutkan di atas. Namun, diperkirakan eksistensi warteg mulai berkembang pada kurun tahun 1970-an ketika arus urbanisasi besar-besaran mulai terjadi di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Pendorong utamanya, jelas, bahwa orang-orang Tegal yang merantau memandang kota-kota besar, seperti Jakarta dan sekitarnya merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Mereka pun menamakan warung nasinya dengan nama “warung Tegal”, karena memang dimiliki oleh orang-orang Tegal. Hampir seluruh usaha rumah makan tersebut di wilayah manapun diberi label “warteg”. Ini bukan bisnis franchise, tapi istilah warteg itu sendiri memang betul-betul sudah menjadi brand image atau dengan kata lain sudah menjadi istilah yang merakyat di mata masyarakat Indonesia sampai saat ini.
            Tidak perlu aturan untuk meminta izin jika mendirikan rumah makan dengan nama “warteg”, karena siapapun dapat dan boleh memakai label “warteg” tersebut untuk menjalankan usahanya. Sehingga dengan “warteg” ini pula, hubungan kaum perantauan dari Tegal ini dapat terjalin dengan baik sebagai sesama pengusaha seprofesi. Oleh karena itu, para pengusaha warteg ini pun mempunyai inisiatif untuk mendirikan perhimpunan kowarteg (Koperasi warung Tegal) yang bertujuan untuk menjalin kerjasama dan membantu anggotanya melalui wadah koperasi tersebut.
            Banyaknya pendatang dari daerah ke Jakarta tentu menjadi alasan utama mengapa warteg makin bertambah jumlahnya dan makin kuat eksistensinya. Dalam arti, banyak dari mereka yang bekerja di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, tukang becak, sopir bus, dan profesi lainnya yang umumnya berpenghasilan rendah. Penghasilan yang rendah dan keberadaan warteg sudah pasti dihubungkan dengan kemampuan finansial untuk mencari biaya makan yang murah. Maklum saja, biaya hidup di kota-kota besar begitu tinggi. Sehingga dengan kondisi demikian, warteg menjadi solusi tersendiri bagi kaum ekonomi menengah ke bawah untuk menikmati makan yang murah meriah.
            Selain itu, target konsumen mereka adalah para mahasiswa daerah yang indekos. Tidak heran kalau di daerah kampus, warteg dapat dicari dengan mudah. Ketika saya pertama kali berkuliah di Cimahi maupun saat berjalan-jalan di Kota Bandung, warteg memang menjadi tempat makan yang selalu penuh dengan mahasiswa, terutama ketika jam makan siang. Kiriman uang dari orangtua yang terbatas menjadi alasan utama, mengapa para mahasiswa memilih warteg.
            Warga Tegal memang lebih suka menjadi Wiraswasta, sebagian besar membuka usaha warteg yang tergabung dalam perhimpunan Kowarteg (Koperasi Warung Tegal). Jika melihat sekilas usaha warung nasi yang dilakoni kaum perantauan dari Tegal ini, mungkin tidak pernah terlintas di benak kita, bagaimana kehidupan mereka di kampung halamannya. Saya malah pernah berpikiran, bahwa mereka yang mengais rizki di daerah lain mungkin adalah orang yang kehidupannya susah di kampung, sehingga dengan membuka usaha warteg ini setidaknya mereka dapat menafkahi mereka dan keluarganya di kampung halaman.
            Ternyata pikiran saya itu meleset. Bukan hanya sekedar untuk menafkahi keluarga mereka, namun kesuksesan mereka ternyata layak diacungi jempol. Meski rata-rata berpendidikan rendah, kekayaan mereka di tanah rantau sebagai pedagang warteg tidak boleh dianggap remeh. Setiap pulang kampung, umumnya pada saat hari raya Lebaran, para pengusaha warteg ini tak pernah lupa menyumbangkan uangnya, untuk membangun linkungan dekat rumahnya atau desa masing-masing.
            Suasana ramai pun tampak di rumah-rumah mewah (menurut ukuran warga Tegal, karena bertembok dan bertingkat) milik pengusaha warteg yang sukses di Jakarta. Bahkan, keramaian itu sebenarnya sudah tampak dua hari sebelum Lebaran. Sebab, beberapa hari menjelang Lebaran warga yang sukses membagi-bagikan sembako (sembilan kebutuhan bahan pokok) dan uang kepada warga tidak mampu. Para pengusaha itu pun membuka pintu lebar-lebar pada saat Lebaran tiba. Selama masa masa mudik itulah ekonomi Kabupaten Tegal menjadi lebih semarak dan perputaran ekonomi menjadi lebih dinamis Setelah mengantongi uang banyak dari bisnis warteg, banyak dari mereka yang membangun rumah besar di desanya. Meski demikian, rumah itu hanya dihuni kalau mereka pulang, ya itu tadi, saat Lebaran. Kalau hari-hari biasa banyak yang tanpa penghuni.
            Itu sekilas rekaman kisah yang saya peroleh, baik dari pengalaman mengobrol dengan pemilik warteg ketika masih kuliah dulu; maupun informasi yang pernah saya baca dari media massa yang mengulas tentang bisnis warteg. Mereka memang memiliki jiwa yang ulet, kreatif, dan mandiri, sehingga dapat meraih kesuksesan seperti yang sudah saya kisahkan tadi. Bahkan, Pemerintah Daerah Tegal pernah mempunyai rencana untuk mengutip Rp. 1000,- kepada tiap-tiap pengusaha warteg yang tersebar ribuan jumlahnya di luar kota. Kalau program ini dilaksanakan, jutaan rupiah tiap bulannya dapat mengucur ke kantong pemerintah daerah Tegal untuk membangun desa-desa terpencil. Hal itu menjadi sebuah ukuran begitu pentingnya peranan pengusaha warteg ini.
4.1.1.11.     Kondisi Sentra Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana

            Sentra Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana sudah sangat cukup dikenal, Keadaan para pengusaha Usaha Kecil dan Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu :
a.                   Aspek Sumber Daya Manusia
Keterampilan yang dimiliki para pengusaha Warung Tegal didapat secara otodidak dari generasi ke generasi secara turun temurun dilingkungan keluarga, selain itu para pekerja pembantu atau pelayan warung tegal yang berperan dalam proses produksi cenderung tidak berpengalam, kalu pun berpengalaman maka mereka cenderung menuntut upah yang tinggi sehinga membebani ongkos produksi, selain itu saat ini muncul kecenderungan tidak adanya regenersi pengusaha, hal ini terjadi karena sikap dan mental dari generasi penerusnya yang cenderung lebih suka berkerja menjadi Pegawai Negri atau kerja di peruashaan karena  pengusaha Warteg diangap sebagai pekerjaan rendah Akibatnya dirasakan semakin berkurangnya jumlah pengusah yang di peroleh, yang apabila keadaan ini terus berlanjut dapat di hawatirkan Usaha kecil dan menengah Warung Tegal tidak mampu bersaing dengan usaha sejenis yang sedang berkembang seperti warung padang dan bisnis franchise yang mengakibatkan  kebangkrutan.
b.                  Aspek Manajemen
            Proses pengelolaan usaha umumnya masih sederhana, karena masih ada dalam lingkungan keluarga yang kadang kala menempatkan dirinya sendiri sebagai pimpinan, kadang pula sebagai operator, dan berperan juga sebagai tenaga pemasaran. Tujuan mereka membuka usaha belum jelas visi dan misinya, sehingga terkesan agar bisa makan dan menyekolahkan anak sudah cukup puas. Sealin itu variasi masakan yang cenderung tidak mengikuti selera pasar mengakibatkan usaha warung tegal sulit untuk naik kelas,serta fuktuasi harga sembako juga mempengaruhi ongkos produksi sementara harga jual sulit untuk dinaikan karaena target pemasaran adalah kalangan ekonomi menengah bawah, Di samping itu belum diterapkannya sistem manajemen modern menyebabkan sulitnya Usaha Kecil Menengah untuk berkembang.
c.                   Aspek Permodalan
Keterbatasan modal Merupakan masalah klasik  pengusaha warung Tegal, hal ini di sebabkan tidak adanya jaminan/ anggunan untuk pinjaman kelembaga keuangan semisal Bank atau lembaga keuanagan mikro lain, belum menerapkan  manajemen keuangan yang moderen juga sebagi salah satu masalah sulitnya pengusaha Warung Tegal untuk mengakses pinjaman modal.
d.                  Aspek Pemasaran
Lokasi pemasaran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Warung Tegal yang banyak berada di kota-kota besar seperti Jakata, bogor, depok, bekasi ( jabodetabek), dan Bandung meneyebabkan tingginya biaya kontrak tempat usaha ini membuat tingginya modal yang di butuhkan untuk membuka tempat usaha baru. Faktor ini yang menyebabkan kesulitan pengusaha warung Tegal untuk berkembang, Selain Itu Usaha kecil dan mengah Warung Tegal yang belum berbadan Hukum memyebabkan sulitnya mengakses program pengembangan UKM di lokasi pemasaran faktor lain  yang meneyebabkan sulitnya pengusaha warung Tegal adalah domisili pengusaha yang berbeda dengan lokasi usaha sering mendapat pungutan liar dari oknum Pemerintahan setempat. Sumber : Observasi di lapanagan,12 juni  2011
4.2.            Pembahasan Hasil Penelitaian
Dalam bab ini peneliti mencoba membahas implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat terhadap efektivitas pemberdayaan usaha kecil dan mengah (UKM) Warung tegal (Warteg) di Kecamatan Margadana Kota Tegal, dimana kebijakan Pemerintah merupakan suatu produk dari keputusan-keputusan yang akan diambil dan ditetapkan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Kemudian peneliti membagi sistematika analisis pembahasan sebagai berikut :
1)      Sub bab 4.2.1. Implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat di Kecamatan Margadana.
2)      Sub bab 4.2.2. Efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Warung tegal di Kecamatan Margadana.
3)      Sub bab 4.2.3. Pengaruh Implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat terhadap Efektivitas pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Warung tegal di Kecamatan Margadana.
4.2.1.      Implementasi kebijakan Pemerintah tentang Kredit Usaha Rakyat di Kecamatan Margadana.
Implementasi kebijakan merupakan satu tahapan setelah usulan kebijakan telah diterima dan disahkan oleh pihak yang berwenang. Keberhasilan implementasi kebijakan akan tercapai dan ditentukan oleh faktor-faktor implementasi kebijakan, yaitu komunikasi, sumberdaya, sikap pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi. Berdasarkan hasil analisis data penelitian dari penyebaran angket kepada para responden dari item pertanyaan-pertanyaan yang berpedoman pada matriks operasionalisasi variabel, diketahui sebagai berikut :
1)                  Komunikasi
Faktor komunikasi merupakan proses penyampaian pesan yang bertujuan untuk memberikan kejelasan kepada pelaksana kebijakan dalam menyampaikan kembali kepada objek kebijakan sehingga membentuk kesamaan penafsiran dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Komunikasi disini berperan peran penting dalam menunjang keberhasilan implementasi kebijakan agar pelaksana kebijakan mengetahui apa yang harus dikerjakan dan apa yang menjadi tujuan. Tujuan kebijakan harus ditransmisikan (dipindahkan) kepada kelompok yang menjadi sasaran sehingga akan mengurangi distosi (penyimpangan) implementasi.
Indikator yang digunakan dalam dimensi faktor-faktor implementasi kebijakn yang pertama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Adanya pemahaman oleh aparat Dinas Perindusterian perdagangan dan koprasi dan petugas Bank BRI Unit sumurpanggang Sebagai pelaksana terhadap isi kebijakan.
2.      Adanya sosialisasi kebijakan Pemerintah kepada masyarakat pengusaha Warung Tegal.
Berdasarkan hasil penyebaran angket kepada responden atas pertanyaan pada indikator adanya pemahaman terhadap isi kebijakan oleh aparat Dinas Perindusterian perdagangan dan koprasi dan petugas Bank BRI Unit sumurpanggang , dapat dilihat pada table sebagai berikut :
Jawaban responden tentang adanya pemahaman terhadap isi kebijakan oleh aparat Dinas Perindagkop dan petugas Bank BRI Unit sumurpanggang kecamatan Margadana Kota Tegal (n=82)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
            Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan mengenai pengaruh implementasi kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat Terhadap efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal, peneliti mengambil kesimpulan berikut ini :
            Untuk variabel bebas yaitu implementasi kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat di Kecamatan Margadana. Hal ini berdasarkan hasil rata-rata hitung yang didapat dari jawaban responden melalui penyebaran angket diperoleh nilai sebesar 1,77 dan termasuk dalam kategori “Cukup” (1,67-2,33).
            Untuk variabel terikat yaitu Efektivitas Terhadap Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal masih belum efektif. Hal ini berdasarkan hasil rata-rata hitung yang diperoleh dari jawaban responden melalui penyebaran angket diperoleh nilai sebesar 1,62 dan termasuk dalam kategori “kurang” (1,00-1,66).
            Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah dikemukakan dalam bab pembahasan ternyata t hitung lebih besar dari pada t tabel sehingga diperoleh t hitung pada daerah penolakan Ho. Dengan demikian hipotesis statistik Ho yang menyatakan tidak ada pengaruh antara implementasi kebijakan             Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat Terhadap Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal ditolak, dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Dengan demikian hasil koefisien korelasi antara variabel bebas terhadap variabel terikat yaitu sebesar 0,673 signifikan, dalam arti koefisien korelasi tersebut dapat digeneralisasikan pada populasi dimana sampel diambil atau data tersebut mencerminkan keadaan populasi.
            Dalam perhitungan koefisien korelasi, yaitu . Jadi koefisien diterminannya adalah Hasil ini menunjukan bahwa ada pengaruh implementasi kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat Terhadap Efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kata Tegal adalah sebesar 45,29%, sedangkan sisanya 54,71% adalah faktor-faktor lain yang ikut memperngaruhi terhadap pemberdayaan pengusaha UKM Warteg di Kecamatan Margadan.
            Dari uraian tersebut, peneliti menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis Korelasi Product Moment menunjukan terdapat pengaruh antara implementasi kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat Terhadap efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal, sehingga hipotesis yang peneliti ajukan yaitu : “Pengaruh implementasi kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat Terhadap efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal”, telah teruji secara empirik melalui penelitian di lapangan.
5.2. Saran
            Berdasarkan uraian dalam pembahasan dan kesimpulan mengenai Pengaruh implementasi kebijakan Pemerintah Tentang Kredit Usaha Rakyat Terhadap efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Warung Tegal di Kecamatan Margadana Kota Tegal. Dalam kesempatan ini, peneliti ingin memberikan saran untuk Pemerintah Kota Tegal Khususnya Kecamatan Margadana dan Dinas Perindusterian, Perdagangan dan Koprasi Kota Tegal dan seluruh jajarannya sebagai berikut :
            Diharapkan Dinas Perindusterian, Perdagangan dan Koprasi dan instansi yang terkait lainnya lebih mengintensifkan kegiatan sosialisasi kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan, sehingga mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan kebijakan Pemerintah tentang Pengembangan Usaha Kecil Menengah dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan dari masyarakat pengusaha dan pengrajin.
            Pemerintah Kota Tegal Khususnya pemerintah kecamatan Margadana seharusnya lebih memperhatikan sfasilitas-fasilitas atau sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang pengembangan ekonomi di sentra UKM, seperti penyediaan sarana informasi yang bertujuan sebagai media komunikasi dan sosialisasi kebijakan dalam pengembangan dan pemeberdayaan UKM.
Sedangkan untuk dinas perindusterian, perdagangan dan koprasi diharapkan lebih aktif mendekati sentra UKM Warteg untuk memberikan pelatihan dan pendampingan, baik teknis ataupun moral.



DAFTAR RIWAYAT HIDUP


A.    IDENTITAS PRIBADI
Nama                                       : Pramono Setia Budi
Tempat, tanggal lahir              :Tegal, 03 September 1987
NIM                                        : 6111071053
Jurusan                                    : Ilmu Pemerintahan
Fakultas                                   : FISIP
Alamat                                                : Jln, Probolinggo Gang Bawal II Rt.05/05                                                                  Kelurahan Margadana Kota Tegal
Telp                                         : 085642644447
Orang tua                               :
a.       Nama Ayah           : Daroso
b.      Pekerjaan               : Wirasuasta
c.       Alamat                  : Jln, Probolinggo Gang Bawal II Rt.05/05 Kelurahan                                                 Margadana Kota Tegal
d.      Nama Ibu              : Kasirah
e.       Pekerjaan               : Ibu Rumah Tangga
f.       Alamat                  : Jln, Probolinggo Gang Bawal II Rt.05/05 Kelurahan                                                 Margadana Kota Tegal
B.           RIWAYAT PENDIDIKAN                           :
a.       Sekolah Dasar Negeri Margadana 2
b.      Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Tegal
c.       Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tegal